Senin, 23 Mei 2016

Problem pembelajaran PAI di sekolah UMUM



KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, kesehatan dan karunia-Nya sehingga kami  dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Ilmu Pendidikan ini sehingga makalah dengan judul problem dan peningkatan mutu pendidikan agama islam (pai) disekolah umum
bisa sampai ditangan anda semua dan selesai sesuai waktu yang telah ditentukan.
Penulisan karya tulis ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari semua pihak. Untuk itu, perkenankan penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:
1.      Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan ini dapat diselesaikan.
2.      Bapak Dr. H. Tasman Hanani, M. A. selaku dosen mata Ilmu Pendidikan jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Agama Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3.      Dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah  ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Semoga melalui hasil makalah ini, memberikan banyak manfaat yang berharga bagi setiap pembaca. Kami  sangat membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca untuk kemajuan selanjutnya yang lebih baik dan maksimal. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih banyak dan  mohon  maaf bila ada salah kata dalam penyusunan tugas makalah ini.

Penyusun



DAFTAR ISI

Halaman Cover
Kata Pengantar.............................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................ iii
B.     Rumusan Masalah............................................................................iv
C.     Tujuan............................................................................................. iv
BAB II PEMBAHASAN
A.    Mutu pendidikan Agama Islam....................................................... 1
B.     pelaksanaan dan kendala PAI di sekolah umum..............................9
C.     upaya mengatasi problematika PAI di sekolah umum................... 14

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................... 18
Daftar Pustaka............................................................................................20













BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan  manusia itu sendiri. Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. Namun, semua hal tersebut belum dapat menghasilkan atau meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaiman Mutu pendidikan Agama Islam ?
2.      Bagaiman masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di sekolah umum ?
3.      Bagaimana upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?
C.     Tujuan
1.      Bagaiman Mutu pendidikan Agama Islam ?
2.      Bagaiman masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di sekolah umum ?
3.      Bagaimana upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?









A.           SEJARAH PENDIDIKAN AGAMA
Pada periode zaman penjajahan Belanda, disekolah sekolah umum secara resmi belum diberikan Pendidikan Agama, namun sudah ada usaha-usaha dari mubaligh baik secara perseorangan maupun  tergabung dalam organisasi-organisasi Islam dengan cara bertabligh dimuka para siswa dari sekolah-sekolah umum. Kemudian pada periode penjajahan Jepang, keadaan agak berubah, karena telah  mulai ada kemajuan dalam pelaksanaan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum. Dan mulai saat itu secara resmi pendidikan agama boleh diberikan di sekolah-sekolah pemerintah, tetapi hal ini baru berlaku di selolah-sekolah di Sumatera saja. Sedang daerah lain, masih belum ada pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, yang ada hanyalah pendidikan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan Agama sejak Indonesia Merdeka tahun 1945 telah mulai diberikan disekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama, tahun 1945 oleh menteri P.P.&K. (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama, yakni Alm. Ki Hajar Dewantara yang telah mengirim surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan, bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang, diperkenankan diganti dengan pelajaran Agama. Tetapi  berhubung surat edaran itu belum mempunyai dasar yang kuat, maka pelaksanaannya hanya suka rela saja. Kemudian pada tahun 1946, atas perjuangan umat Islam yang duduk dalam BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), maka pendidikan Agama Islam dapat diberikan disekolah-sekolah  Negeri dengan syarat, bila diminta oleh sekurang-kurangnya 10 orang murid. Pelaksanaan pendidikan agama tersebut diserahkan kepada menteri agama dengan persetujuan menteri P.P.&K.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bersama dengan No. 176781 Kab. Tanggal 16 Juli 1951 (P.P.&K.) dan no K/1/9180 tanggal 16 Juli 1952 (Agama) yang memuat 10 pasal tentang pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, secara resmi pendidikan agama telah dimasukkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta.[1] Pada tahun 1960, pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia mulai mendapatkan status yang agak kuat, dalam ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 bab II pasal 2 ayat 3, yang berbunyi:
“Menetapkan pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sanpai dengan universitas-universitas negeri, dengam pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatan”.
Adanya tambahan kalimat: murid berhak tidak ikut serta dan seterusnya, adalah hasil perjuangan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pada saat itu mulai berkuasa di Indonesia dan menganut paham Atheis, maka status pendidikan Agama di Indonesia masih bersifat fakultatif yang berarti tidak mempengaruhi kenaikan kelas. Setelah mleltusnya G30SPKI pda tahun1965, kemudian diadakan sidang umum MPRS pada tahun1966, maka mulai saat itu status pendidikan Agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adnya ketetapan MPRS no. XXVII/MPRS/1966 Bab I pasal1 yang berbunyi:
 “menetapka pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-universitas negeri”.
Sejak saat itu pendidikan Agama merupakan mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan perguruan tinggi dan mata pelajaran pendidikan agama ikut menentukan naik atau tidaknya seorang murid. Menurut Tap MPR no. IV/MPR/1973 jo. Tap. MPR no. IV/MPR/1978, dan TapMPR no. II/MPR/1983 tentang GBHN, pendidikan agama semakin dikokohkan kedudukannya dengan dimasukkan dalam garis-garis besar haluan negara sebagai berikut: “Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadp Tuhan yang maha Esa termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalamkurikulum sekolah-sekolah mulai dari Sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri”.Pembelajaran agama di sekolah umum tersebut semakin kokoh dengan berbagai terbitan perundang undangan hingga lahirnya UU Sisdiknas no.20 tahun 2003.
B.     MUTU PENDIDIKAN
a.      Pengertian Mutu Pendidikan
Orang sering mengatakan tentang mutu pendidikan, tetapi kurang jelasnya pengertian dari pada mutu pendidikan itu sendiri. Sehingga umumnya banyak orang yang mengatakan atau mengidentifikasikan mutu pendidikan dengan banyaknya lulusan dari pendidkan itu, atau kadangkadang menonjolkan seseorang atau beberapa orang lulusanya. Dari keracuhan tentang mutu pendidikan tersebut, dan untuk lebih mempermudah dalam kajian masalah ini perlu penulis kemukakan tentang pengertian dari mutu pendidikan.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan dalam kamus Ilmiah Populer menjelaskan Mutu merupakan baik buruknya sesuatu, kualitas, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan). Pendidikan perbuatan mendidik.[2] Jadi yang dimaksud dengan mutu pendidikan adalah kualitas seorang guru baik pemahamanya atau kemampuanya terhadap interaksi belajar mengajar yang indikatornya dapat dilihat dari hasil prestasi belajar siswa, baik itu prestasi dalam menempuh ujian semester ataupun prestasi dalam menempuh ujian akhir.
Pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk baik beruapa barang maupun jasa, baik yang dapat dipegang (tangible) maupun yang tidak dapat dipegang (intangible). Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, efektif dan psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana belajar yang kondusif.
Sedangkan mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan dapat berupa hasil tes kemampuan akademis dan dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi disuatu cabang oleh raga, seni dan sebagainya.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan dan harus jelas target yang akan dicapai dalam tiap tahun ataupun dalam kurun waktu tertentu. Adapun kriteria mutu pendidikan yang baik sekolahan diharapkan memiliki beberapa indikator yang menunjukkan bahwa sekolahan tersebut sudah bisa dibilang bermutu. Indikatornya adalah lingkungan sekolah yang aman dan tertib, sekolah memiliki tujuan dan target mutu yang ingin dicapai, sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, adanya pengembangan staff sekolah yang terus menerus sesuai dengan tuntutaniptek dan adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadapberbagai aspek akademik dan administratif serta pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan atau perbaikan mutu pendidikan[3].
Begitu pula arti mutu dalam pendidikan agama Islam, hanya saja ada sedikit tambahan yaitu bagaimana sekolah atau madrasah bisa menyeimbangkan antara proses dan hasil pendidikan yang pada akhirnya
peserta didik (lulusannya) menjadi manusia muslim yang berkualitas. Dalam arti, peserta didik mampu mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup yang berperspektif Islam. Pehaman manusia berkualitas dalam khasanah pemikiran Islam sering disebut sebagai insankamil yang mempunyai sifat-sifat antara lain manusia yang selaras (jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi), manusia moralis (sebagaiindividu dan sosial), manusia nazhar dan i’tibar (kritis, berijtihad, dinamis,bersikap ilmiah dan berwawasan ke depan), serta menjadi manusia yang memakmurkan bumi[4].
Dalam kaitanya dengan peningkatan mutu pendidikan maka tidak akan terlepas dari adanya beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi akan dijelaskan berikut ini:
Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan adalah sebagai berikut:
1) Kejelasan tujuan pendidikan di sekolah
2) Pengetahuan tentang anak didik
3) Pengetahuan tentang guru
4) Pengetahuan tentang kegiatan supervisi
5) Pengetahuan tentang mengajar
6) Kemampuan memperhitungkan waktu.[5]
b.       Upaya Sekolah dalam Meningatkan Mutu Pendidikan
Kepala sekolah sebagai seorang yang telah diberi wewenag untuk memimpin suatu lembaga pendidikan dan harus bertangungjawab secara penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan pada sekolah yang berada dibawah pimpinanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang Artinya: “Semua kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas yang dipimpinnya”. (HR. Bukhori)[6]
Maju mundurnya suatu lembaga pendidikan itu banyak dipengaruhi oleh kepala sekolah, termasuk juga masalah peningkatan mutu pendidikan. Adapun dalam peningkatan mutu pendidikan, kepala sekolah dapat melaksanakannya dengan melalui beberapa komponen antara lain:

1.      Guru
Guru merupakan salah satu komponen yang memegang peranan yang sangat penting di dalam pelaksanaan pendidikan, karena itu kualitas seorang guru tersebut harus ditingkatkan. Usaha peningkatan kualitas guru ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya adalah:
·         Meningkatkan kedisiplinan guru
·          Meningkatkan pengetahuan guru
·          Inservice dan Upgrading
Inservice training ialah “segala kegiatan yang diberikan dan diterima oleh para petugas pendidikan (kepala sekolah, guru, dsb.) yang bertujuan untuk menambah dan mempertinggi mutu pengetahuan, kecakapan dan pengalaman guru-guru dalam menjalankan tugas dan kewajibanya”. Program Inservice training dapat mencakup barbagai kegiatan, seperti mengadakan aplikasi kursus, ceramah-ceramah, workshop, seminar-seminar, kunjungan ke sekolah-sekolah di luar daerah dan persiapan-persiapan khusus untuk tugas-tugas baru. Inservice training ini sangat penting bagi guru, karena jika guru itu hanya  mengandalkan dari pendidikan formal yang diperoleh di sekolah keguruan dalam mempersiapkan tenaga pendidikan, maka belum merupakan persiapan yang cukup lengkap dan memadai, juga adanya kurikulum sekolah yang mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan kebudayaan. Di samping itu, adanya suatu kenyataan, bahwa karena adanya suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Dengan demikian untuk meningkatkan kualitas guru sebagai tenaga pengajar dan tenaga pendidik inservice sangat diperlukan. Sedangkan up grading (penataran) sebenarnya tidak berbeda jauh dengan inservice training. Upgrading merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf ilmu pengetahuan dan kecakapan para pegawai, guru atau petugas pendidikan lainnya, sehingga dengan demikian keahlian bertambah
dan mendalam[7].

2.      Rapat Guru
Rapat guru adalah suatu cara dalam rangka meningkatkan kualitas guru di dalam mengemban tugas dan tanggungjawab sebagai  pendidik. Salah satu bentuk rapat guru yang dilaksanakan oleh kepala sekolah ialah konferensi atau musyawarah yang bertujuan untuk membimbing guru-guru agar lebih efektif dalam perbaikan pengajaran di sekolah. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syuro ayat 38
Artinya: (Bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhanya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.

Dari ayat di atas menunjukan bahwa Islam memerintahkan agar dalam menyelesaikan suatu masalah hendaknya dengan musyawarah.
3.       Siswa
Dalam meningkatkan mutu pendidikan siswa juga harus mendapatkan perhatian, peningkatan mutu atau kualitas siswa ini dapat dilakukan dengan cara antara lain:
·         Mengaktifkan Siswa
·         Memberikan Bimbingan
·          Pemberian Tugas pada Siswa
·         Mengadakan Kegiatan Ekstra Kurikuler
4.      Sarana
Sarana mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dibutuhkan sarana yang memadai dengan sarana yang cukup maka akan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan.  terjadi sebaliknya, bila tanpa adanya sarana yang memadai atau yang mendukungnya.
5.      Kerjasama Dengan Wali Murid
Penyelenggaraan pendidikan akan lebih berhasil jika adanya kerja sama antara sekolah dengan orang tua murid, di mana sekolah akan memberi informasi tentang keadaan anaknya dirumah sehingga hubungan mereka itu adalah saling menunjang di dalam keberhasilan belajar siswa.
c.       Faktor Pendukung dan Penghambat Mutu Pendidikan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan disuatu lembaga pendidikan. Maka pasti ada problem-problem yang dihadapi, sehingga dapat menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan. Adapun  problem-problem yang biasanya dihadapi dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah:
a)      Sumber Daya Manusia
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis yang terjadi. Kondisi inipun merupakan hal yang sangat tidak menguntungkan dengan sudah dimulainya perdagangan AFTA (Asean Free Trade Area) tahun 2003 yang menuntut kemampuan berkompetisi dalam segala bidang terutama dalam bidang sumberdaya manusia. Adapun yang dapat menjadi problem rendahnya sumberdaya manusia kita adalah:
b)      Pendidik
Banyak guru-guru di sekolah yang masih belum memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan terhambatnya proses belajar mengajar, apalagi guru yang mengajar bukan pada bidangnya. Para guru juga harus mengintegrasikan IMTAQ dan IPTEK, hal ini berlaku untuk semua guru baik itu guru bidang agama maupun umum. Selain dihadapkan dengan berbagai persoalan internal, misalnya persoalan kurangnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, dan lain-lain. Guru juga mendapat dua tantangan eksternal, yaitu pertama, krisis etika dan moral anak bangsa, dan kedua, tantangan masyarakat global. Berdasarkan hasil penyelidikan dari seseorang ahli, bahwa guru dalam menunaikan tugasnya, pada umumnya akan menghadapi bermacam-macam kesulitan, lebih-lebih bagi guru yang baru menunaikan tugasnya. Kesulitan-kesulitan tersebut adalah:
·         Kesulitan dalam menghadapi adanya perbedaan individual, baik itu perbedaan IQ, watak, dan juga perbedaan background.
·          Kesulitan dalam memilih metode yang tepat.
·         Kesulitan dalam mengadakan evaluasi dan kesulitan dalam melaksanakan rencana yang telah ditentukan, karena kadangkadang kelebihan waktu atau kekurangan waktu.[8]
·         Banyak sekali guru yang mempunyai penghasilan tambahan, misalnya berdagang, bahkan “ngojek”. Akibat dari kegiatan tambahan ini, sukar diharapkan dari seorang guru untuk sepenuhnya memusatkan perhatian pada terlaksanaya tanggung jawab sebagai pendidik.
·         Sekolah sering berganti-ganti guru disebabkan mereka mengajar sebagai pekerjaan sambilan/sekedar waktu penantian untuk pengangkatan sebagai pegawai negeri, menanti nikah, dan ada juga yang memang pegawai negeri.
·         Ketidaksesuaian antara keahlian dan mata pelajaran yang diajarkan, oleh karena itu, sering terjadi mata pelajaran agama ditugasi untuk mengajar mata pelajaran umum.

c)      Peserta Didik
Pendidikan kita selama ini dirasa membelenggu, akibatnya kedudukan siswa sebagai objek. Mereka ditempatkan sebagai tong kosong yang dapat diisi apa saja dalam diri siswa melalui
pendidikan. Kebutuhan siswa tidak pernah menjadi faktor pertimbangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan dirasakan sebagi kewajiban dan bukan kebutuhan. Pendidikan yang membebaskan dapat diwujudkan dengan aktualisasi para siswa dalam proses belajarnya. Mereka dapat melakukan berbagai kegiatan, tetapi tetap ada kontrol dari para guru/pendidik. Banyak dari para peserta didik yang merasakan bosan dan jenuhmengikuti pelajaran di kelas dikarenakan metode pengajaranya hanya memberlakukan mereka sebagai pendengar setia. Kita lihat betapa mereka gembiranya ketika mendengar bel istirahat/bel
pulang telah berdering, mereka seakan-akan terbebas dari sebuah penjara. Hal ini hendaklah disadari oleh semua pendidik. Kita juga tidak bisa menyalahkan mereka jika hasil studi mereka tidak memuaskan.
Dengan demikian perbedaan yang ada pada setiap peserta didik, seperti perbedaan IQ, back ground, maupun watak dapat menjadi problem jika gurunya juga tidak memperhatikan hal tersebut. Maka dari itu seorang pendidik haruslah benar-benar faham akan kebutuhan dan keinginan peserta didik.
d)      Kepala Sekolah
Banyak sekali kekurangan-kekurangan yang ada di sekolah, seperti kurang lengkapnya sarana prasarana, tenaga pengajar yang tidak professional, kesejahteraan guru yang masih rendah, dan lain-lain.
Kita mungkin dihadapkan pada suatu pertanyaan bahwa siapakah yang paling bertanggungjawab terhadap kondisi sekolah tersebut? Semua faktor tersebut lebih merupakan akibat semata atau disebut dengan dependent variable (variabel bergantung). Sedangkan yang
menjadi faktor penyebab atau independent variable (varibel bebas) justru para pengelola  madarasah. Jika para pengelola tersebut memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengatur, maka semua persoalan di atas dapat di atasi dengan baik. Dengan demikian bagus tidaknya atau maju mundurnya suatu sekolah atau sekolah akan sangat bergantung pada bagus tidaknya kualitas kepalanya. Maka dari itu, jika manajer dalam sekolah dijabat oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian mengatur dan tidak memiliki visi yang jelas tentu akan menghambat upaya pengembangan dan  peningkatan mutu pendidikanya. Banyak bukti yang bisa ditunjukan dengan keberadaan kepala sekolah yang tidak memiliki persyaratan menyebabkan sekolah berjalan di tempat, bahkan berjalan mundur.
e)      Partisipasi Masyarakat
Di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, banyak warganya yang belum paham akan pentingnya partisipasi mereka dalam dunia pendidikan (lembaga pendidikan), lebih-lebih bila kondisi ekonomi mereka yang rendah. Pusat perhatian mereka adalah pada kebutuhan dasar sehari-hari mereka. Berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara maju, partisipasi warga masyarakat sudah besar, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam melakukan kontrol. Mengapa mereka bertindak seperti itu? Sebab mereka yakin sekali bahwa pendidikan adalah modal utama bagi peningkatan kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa mereka.[9]Perlu kita ketahui juga bahwa kecenderungan yang terjadi di negara maju sekarang ini adalah kriteria sekolah yang baik ialah sekolah yang memiliki hubungan baik dengan orang tua siswa, tidak terbatas pada hubungan penyandang dana saja akan tetapi
kebersamaannya terhadap keberhasilan pendidikan anaknya. Kecenderungan ini dapat dikatakan sebagai tanda-tanda bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan semakin tidak terisolasi dari masyarakat.
f)        Sarana prasarana
Sarana prasarana pendidikan adalah merupakan hal yang sangat penting, sebagai penunjang proses pendidikan. Kelengkapan sarana prasarana akan dapat menciptakan suasana yang dapat memudahkan tercapainya tujuan pendidikan. Tetapi kenyataan yang sering dihadapi
oleh lembaga pendidikan, apalagi sekolah swasta adalah mengenai kurang lengkapnya sarana prasarana pendidikan. Padahal hal tersebut sangat penting sekali dalam proses belajar mengajar. Banyak sekali sarana prasarana yang dimiliki oleh sekolah sudah tidak layak pakai
lagi sehingga hal tersebut secara tidak langsung dapat menghambat proses belajar mengajar.



C.     PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH
Pendidikan Agama Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Agama Islam sebagai lembaga; diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran; diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value); yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. (Haidar Putra Daulay, 2009) Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul ketika diterapkan di sekolah. Diantara problem tersebut adalah:
1.    Problem Anak Didik                                                                               
Problem yang berkaitan dengan anak didik perlu diperhatikan, dipikirkan, dan dipecahkan, karena anak didik merupakan pihak yang dibina untuk dijadikan manusia yang seutuhnya, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun dalam masyarakat.
Pengertian anak didik adalah anak yang belum mencapai kedewasaan, baik fisik maupun psikologis yang memerlukan usaha serta bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba Tuhan serta sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara. Peserta didik dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan dan pengajaran. Pendidik tidak mempuyai arti apa apa tanpa kehadiran peserta didik sebagai subyek pembinaan. Dalam perspketif pedagogis, peserta didik adalah sejenis makhluk yang menhajatkan pendidikan.
Suwardi, menyatakan bahwa sistem pendidikan Islam selama ini hanya mengandalkan kekuasaan pendidikan, tanpa memperhatikan pluralisme subyek didik, yang sudah saatnya harus dirubah agar tercipta masyarakat madani, yakni peserta didik yang aktif, membiasakan berpendapat dengan penuh tanggung jawab serta membangun norma-norma keberadaban.
Selama ini memang dirasakan bahwa proses pendidikan Islam terkesan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi yang kognitif dan motorik yang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologi peserta didik. (Hujair, 2003)
Adapun problem-problem yang terdapat pada anak didik antara lain:
a.    Problem kemampuan ekonomi keluarga.
b.    Problem intelegensia.
c.    Problem bakat dan minat.
d.   Problem perkembangan dan pertumbuhan.
e.    Problem kepribadian.
f.     Problem sikap.
g.    Problem sifat.
h.    Problem kerajinan dan ketekunan.
i.      Problem pergaulan.
j.      Problem kesehatan. (Ramayulis, 2004)

Dalam rangka memenuhi keselarasan antara jasmani dan rohani peserta didik maka terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya problem bagi peserta didik yang perlu diperhatikan. Faktor penyebab kesulitan belajar yang dirasakan oleh peserta didik dikarenakan adanya pengaruh dari dalam diri peserta didik itu sendiri, yang meliputi:
1)   Intelengensi peserta didik
Setiap peserta didik sejak lahirnya memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, antara satu dengan yang lainya. Kemampuan peserta didik dalam kelas tidak sama, hal ini mengakibatkan adanya hambatan bagi pendidik dalam menyampaikan pelajaran (transfer knowledge). Jika pendidik hanya memperhatikan peserta didik yang memiliki intelengensi yang tinggi, maka keadaan kelas tidak akan harmonis yang pada akhirnya akan menimbulkan kecemburuan di hati peserta didik yang berintelegensi rendah karena merasa tidak diperhatikan, sehingga pada akhirnya tujuan intruksional khusus tidak tercapai. (Abu Ahmadi, 1997)
2)   Minat peserta didik.
Minat pada peserta didik dapat diartikan sebagai rasa senang atau tidak senang dalam menghadapi suatu subjek pelajaran. Prinsip dasarnya ialah bahwa minat peserta didik akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki rasa senang yang tinggi dalam melakukan tindakanya. Minat peserta didik erat kaitannya dengan perhatian yang diberikannya dalam mengikuti proses belajar mengajar. Kefektifan suatu proses pembelajaran akan dipengaruhi oleh kualitas perhatian pendidik terhadap rangsangan.
3)   Motivasi.
Motivasi dapat diartikan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa hasil belajar pada umumya meningkat jika motivasi belajar bertambah baik motifnya dari intrinsik maupun ekstrinsik. (Muhammad Surya, 2003)
Uraian di atas menjelaskan bahwa perhatian merupakan salah satu faktor psikologis yang dapat membantu terjadinya interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Perhatian merupakan faktor terpenting dalam usaha belajar mengajar pada peserta didik.
2.   Problem Pendidik
Dalam proses pendidikan khususnya pendidikan di sekolah, Pendidik memegang peranan yang paling utama. Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan kata muaddib, muallim dan murabbi. Gambaran tentang hakikat pendidik dalam Islam adalah orang orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi peserta didik, baik affektif, kognitif dan psikomotorik.
Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab sebagai pendidik yaitu manusia dewasa yang mempuyai hak dan kewajiban dalam mendidik peserta didik. Oleh karena itu, seorang pendidik memikul tanggung jawab yang bersifat personal dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial dalam arti bahwa setiap orang yang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain. Hal ini tercermin dalam firman Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahriim Ayat 6)

Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua, hal ini disebabkan karena secara alami anak didik pada masa awal kehidupannya berada ditengah tengah ayah dan ibunya. Sedangkan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah disebut dengan guru/dosen.
Sebagai Mu’allim, pendidik akan melakukan transfer ilmu/pengetahuan/nilai ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya, serta berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk mengamalkanya. Sebagai Muaddib seorang pendidik sadar bahwa eksistensi GPAI memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan melalui kegiatan pendidikan.
Diantara problem seorang pendidik adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan jika muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama. Guru-guru agama di beberapa sekolah selain kurang mendalami materi yang diajarkan, juga sering kali mengajar tanpa memperhatikan didaktik-metodik dan psikologi anak. Agar pendidikan agama dapat mencapai hasil sesuai tujuan yang diharapkan, maka setiap guru agama harus mengetahui dan menguasai berbagai metode pembelajaran dan pendekatan. Namun pada kenyataannya, pelajaran pendidikan agama di sekolah masih dominan menggunakan metode ceramah.
Selain itu, problem sumber daya kependidikan secara umum yang merupakan masalah pokok yang dihadapi pendidikan Islam adalah rendahnya kualitas tenaga pendidik. Fazlur Rahman menyatakan Indonesia seperti halnya negeri-negeri muslim besar lainnya juga menghadapi masalah pokok dalam modernisasi pendidikan Islam yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset, dikarenakan pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari pekerjaan tambahan di luar lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupanya tiap bulan. Akibatnya, etos kerjanya sebagai pendidik agama di sekolah sangat menurun.
Pendidik dalam pendidikan agama Islam dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan professional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model model yang sesuai dengan tuntutan zamanya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada masa zamanya. (Muhaimin, 2002)
Dalam perspektif pendidikan Agama Islam di Sekolah, guru seringkali mengalami kendala dalam menanamkan pembiasaan ajaran Islam di sekolah. Hal ini semata-mata disebabkan karena guru tidak memiliki kompetensi yang matang, serta juga tidak didukung oleh penguasaan konsep internalisasi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu umum oleh guru-guru bidang studi lainnya.
3.    Problem Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Dalam Bahasa Arab kurikulum diistilahkan manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai kehidupan. Sedangkan arti manhaj/kurikulum dalam pendidikam Islam sebagaimana yang terdapat dalam kamus At-Tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Definisi tentang kurikulum juga telah dirumuskan oleh para pakar pendidikan, diantaranya definisi yang dikemukakan oleh M. Arifin yang memandang kurikulum sebagai seluruh mata pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan dalam suatu institusional pendidikan. Nampaknya definisi ini masih terlalu sederhana dan lebih terpaku pada materi pelajaran semata. Sementara, Zakiah Daradjad menganggap kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu. Definisi kurikulum ini nampaknya lebih luas dari definisi yang pertama, karena kurikulum tidak hanya mencakup pada materi pelajaran semata namun juga mencakup seluruh program di dalam kegiatan pelajaran. (Ramayulis, 2004)
Dalam pandangan dunia pendidikan, keberhasilan program pendidikan sangat tergantung pada perencanaan program kurikulum pendidikan tersebut, karena “kurikulum, pada dasarnya berfungsi untuk menyediakan program pendidikan (bluefrint) yang relevan bagi pencapaian sasaran akhir program pendidikan. Dengan kata lain, Fungsi kurikulum adalah menyiapkan dan membentuk peserta didik agar dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan orientasi kurikulum dan sasaran akhir program pendidikan. Program kurikulum diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang, apabila kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa akan datang tentu akan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap calon-calon penganggur pada masa yang akan datang. (Hujair, 2003)
Dalam hal ini kurikulum pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan-hafalan teks keagamaan yang sudah ada. Proses pendidikan agama Islam, seringkali dapat disaksikan praktek pendidikan yang kurang menarik dari sisi materi dan metode penyampaian yang diaplikasikan. Desain kurikulum pendidikan agama Islam sangat didominasi oleh masalah yang sangat normative, apalagi materi pendidikan Islam yang kemudian disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan atau menekankan ortodoksi dalam pelajaran mata agama yang diidentikkan dengan keimanan, dan bukan ortopraksis yaitu bagaimana mewujudkan iman dalam tindakan nyata operasional. (Hujair, 2003)
Amin Abdullah misalnya, salah seorang pakar keislaman non tarbiyah, juga telah menyoroti kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang selama ini berlangsung di sekolah, antara lain sebagai berikut:
a.       Kurikulum Pendidikan Islam lebih banyak terkosentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata.
b.      Kurikulum Pendidikan Islam kurang konsen terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara dan media.
c.       Kurikulum Pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi tekstual, yang lebih menitikberatkan pada hafalan teks keagamaan yang sudah Ada
d.      Sistem evaluasi, bentuk -bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada aspek kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna“ spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupann sehari hari. (Muhaimin, 2002)
4.    Problem Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang sangat penting. Dengan evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat mengukur segi kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Kebanyakan evaluasi yang dilakukan selama ini hanyalah mengukur kognitif siswa saja, sedang afektif dan psikomotoriknya terabaikan. Hasil evaluasi kognitif tersebut dimasukkan ke dalam raport siswa, maka kemungkinan akan terjadi penilaian yang kurang obyektif. Adakalanya siswa yang rajin beribadah lebih rendah nilainya daripada siswa yang malas beribadah.
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara benar. (Mochtar Buchori, 1994)
5.      Problem Manajemen
Manajemen merupakan terjemahan dari kata management yang berarti pengelolaan, ketata-laksanaan. Management berakar dari kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, atau mengelola.
Manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai suatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. (Mulyasa, 2002)
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasanya tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat direalisasikan secara optimal, efektif dan efesien.
Manajemen pendidikan Islam mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan. Dari kerangka inilah tumbuh kesadaran untuk melakukan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas menajemen pendidikan, baik yang dilakukan pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Manajemen pendidikan agama Islam merupakan tanggung jawab Departemen Agama, sehingga hal ini mempuyai dampak pada pendanaan pendidikan. Artinya anggaran belanja negara bidang pendidikan hanya dialokasikan kepada lembaga lembaga pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan pendidikan Islam tidak diambil dari anggaran negara bidang pendidikan, tetapi dari anggaran bidang agama, sehingga anggaran pembiayaan pemerintah untuk pendidikan Islam jauh lebih kecil dibandingkan untuk pendidikan umum.
Upaya lain adalah diundangkan UUSPN 1989 sebagai usaha untuk menngabungkan (integrasi) sistem pendidikan yang lebih dikenal dengan istilah pendidikan satu atap. Akan tetapi upaya ini semua sampai saat ini belum pernah selesai dan terimplementasi dengan baik. Dengan kata lain dalam menajemen pendidikan di Indonesia, pendidikan Islam belum mengalami transformasi posisi yang berarti dan diberlakukan sacara sejajar oleh pemerintah dengan pendidikan umum di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia, “posisi pendidikan Islam masih dalam posisi marginal.
Inilah realitas yang dihadapi, sehingga menjadikan pendidikan Islam secara umum kurang diminati dan kurang mendapat perhatian. Hal ini didukung dengan materi kurikulum dan manajemen pendidikan yang kurang memadai, kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Lulusannya kurang memiliki ketrampilan untuk bersaing dalam dunia kerja. Melihat kenyatatan ini, maka reformasi manajemen pendidikan Islam menjadi suatu keharusan. Sebab dengan langkah-langkah berusaha pembenahan dan peningkatan profesionalisme penyelenggaran pendidikan akan mampu menjawab berbagai tantangan dan dapat memberdayakan pendidikan Islam di masa depan. Dalam hal ini pendidikan agama Islam menerapkan manajemen berbasis sekolah artinya pengelolaan pendidikan pendidikan mengarah kepada pengelolaan kepada pengelolaan manajemen berbasis sekolah.
Penerapan manajemen berbasis sekolah juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, pendidik, serta kebutuhan masyarakat setempat.
Bank dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatiakan dalam penerapan manajemen berbasis sekolah. Faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah yang menawarkan keluasan pengelolaan masyarakat, kebijakan dan prioritas pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan berhak merumuskan kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan, peranan orang tua dan masyarakat perlu dihimpun dalam satu badan sekolah yang dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan sekolah, peranan profesionalisme kepala sekolah, pendidik, administrasi dalam mengoperasikan sekolah. (Hujair, 2003)
6.    Problem Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan agama Islam adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan khususya proses belajar mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi serta peralatan dan media pengajaran yang lain. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalanya proses pendidikan atau pengajaran seperti kebun, halaman, taman sekolah, jalan menuju sekolah. (Muhammad Surya, 2003) Zakiah Deradjat menyamakan sarana pendidikan dengan media pendidikan. Dalam hal ini, Gegne mendefinisikan sarana pendidikan sebagai alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar.
Sarana pendidikan Agama Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalanya proses pendidikan Islam. Dengan demikian apabila pendidikan Islam memanfaatkan dan menggunakan sarana pendidikan, maka peserta didik akan memiliki pemahaman yang bagus tentang materi yang diperoleh, dan juga diharapkan akan memiliki moral yang baik.
Sarana dan prasarana pendidikan agama Islam yang baik, diharapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi dan indah sehingga menciptakan sekolah yang menyenangkan bagi pendidik maupun peserta didik yang berada di sekolah.
7.    Problem Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Kondisi lingkungan mempengaruhi proses belajar dan hasil belajar. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik/ alam dan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial mempuyai peran penting terhadap berhasil tidaknya pendidikan agama karena perkembangan jiwa peserta didik sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkunganya. Lingkungan akan dapat menimbulkan pengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan jiwanya, dalam sikap maupun perasaan keagamaan.
Problem lingkungan ini mencakup:
a.       Suasana keluarga yang tidak harmonis akan mengkibatkan pengaruh yang kurang baik terhadap perkembangan peserta didik.
b.       Lingkungan masyarakat yang tidak/kurang agamis akan menggangu perjalanan proses belajar mengajar disekolah.
c.       Kurangnya pemahaman orang tua akan arti nilai-nilai agama Islam akan mempengaruhi terhadap pendidikan anak.

D.    UPAYA MENGATASI PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH
Untuk mengatasi problematika pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah dapat diupayakan beberapa solusi yang diharapkan mampu meyelesaikan permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang akan diuraikan sebagai berikut:
1.    Upaya Mengatasi Problematika Peserta Didik dalam Pendidikan Agama Islam
Untuk mengatasi berbagai problem peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Solusi terhadap problem yang terdapat pada peserta didik sangat dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan kegiatan belajar baik siap dalam kondisi fisik atau psikis (jasmani atau mental) individu yang memungkinkan dapat melakukan belajar.
2.      Adanya motivasi terhadap peserta didik baik motivasi intrinsik yaitu motivasi yang datang dari peserta didik atau motivasi ekstrintik yaitu motivasi yang datang dari lingkungan di luar diri peserta didik. Dalam hubungan ini motivasi dapat dilakukan dengan jalan menimbulkan atau mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya. Para pendidik diharapkan mampu menumbuhkan dan mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian peserta didik akan memperoleh kepuasan dan unjuk kerja yang baik. (Muhammad Surya, 2003) Untuk dapat menjamin belajar dengan baik peserta didik harus memiliki perhatian terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya. Sebaliknya jika bahan pelajaran tidak menarik, maka akan membosankan. Hal itu akan mengakibatkan prestasi belajar peserta didik di sekolah akan jadi turun. Karena itu pendidik harus mengusahakan agar bahan pelajaran yang diberikan dapat menarik perhatian siswanya. Jika perlu diberi selingan dengan humor, agar peserta didik tidak merasa jenuh menerima mata pelajaran
3.      Mengingat adanya hambatan terhadap peserta didik tersebut maka sebaiknya pendidik mengadakan test untuk mengetahui kemampuan peserta didik. Apabila mayoritas peserta didik memiliki kemampuan intelegensi tinggi, maka bagi peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan memberikan pelajaran tambahan atau peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan dengan cara jalan lain yaitu dengan menempatkan peserta didik pada kelas yang memiliki kemampuan rata rata yang sama.

2.    Upaya Mengatasi Problem Pendidik dalam Pendidikan Agama Islam.
Dalam peningkatan etos kerja dan meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah, maka yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
a. Penghasilan pendidik dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena rendahnya gaji pendidik akan mengakibatkan terhambatnya usaha dalam meningkatkan profesionalitas kualitas pendidik.
b. Seorang pendidik memahami tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta didik.
c. Seorang pendidik harus mampu menggunakan variasi metode mengajar dengan baik, sesuai dengan karakter materi pelajaran dan situasi belajar mengajar. (Abu Ahmadi, 1997)
3.    Upaya Mengatasi Problem Kurikulum dalam Pendidikan Agama Islam
Dalam mengatasi problem kurikulum, maka pembuatan kurikulum haruslah memperhatikan kesesuaian kurikulum dengan perkembangan zaman pada masa kini serta masa-masa yang akan datang, sehingga peserta didik memiliki bekal dalam menghadapi kompetisi dalam kehidupan nyata yang cenderung hedonis dan materialis. Pembuatan kurukulum juga harus menyeimbangkan antara teoritis dan praktis dalam keagamaan. Peserta didik harus dilatih bagaimana ia mempraktikan teori yang ada dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik mengerti bagaimana ia nantinya harus mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasil studi bank dunia, menyimpulkan bahwa salah satu komponen pendidikan yang ikut menentukan baik-buruknya sistem pendidikan adalah kurikulum yang diberlakukan. Badan moneter dunia ini juga mensyaratkan sistem pendidikan sebuah negara dapat baik bilamana memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
Pertama, kurikulum memenuhi sejumlah kompetensi untuk menjawab tuntutan dan tantangan arus globalisasi. Kedua, kurikulum yang dibuat bersifat lentur dan adaptif dalam menghadapi perubahan yang kompetitif. Ketiga, kurikulum berkorelasi dengan pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat.  (Muhaimin, 2003)


4. Upaya Mengatasi Problem Evaluasi dalam Pendidikan Agama Islam
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara benar. (Mochtar Buchori, 1994)
5.    Upaya Mengatasi Problem Manajemen dalam Pendidikan Agama Islam
Dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah, seharusya terjalin hubungan antara sekolah dengan orang tua peserta didik dimaksudkan agar orang tua mengetahui berbagai kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah untuk kepentingan peserta didik dan juga orang tua peserta didik mau memberi perhatian yang besar dalam menunjang program program sekolah.
Terjalinya sekolah dengan masyarakat bertujuan memelihara kelangsungan hidup sekolah dan memproleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka mengembangkan pelaksanan program program sekolah. (Sudarwan Danim, 2003).
6.    Upaya Mengatasi Problem Sarana dan Prasarana dalam Pendidikan Agama Islam
Sarana pendidikan sangat menunjang dalam proses belajar mengajar, hal ini akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di madrasah.diantaranya adalah :
·         Gedung sekolah yang memadai sehingga membuat peserta didik senang dan bergairah belajar di dalam sekolah.
·          Sekolah harus memiliki perpustakaan dan dimanfaatkan secara optimal baik oleh pendidik atau peserta didik.
·          Adanya alat alat peraga yang lengkap akan sangat membantu pencapaian tujuan pendidikan.
·          Adanya alat sarana untuk ibadah.


7.      Upaya Mengatasi Problem Lingkungan dalam Pendidikan Agama Islam
a.       Suasana keluarga yang aman dan bahagia, itulah yang diharapkan akan menjadi wadah yang baik dan subur bagi pertumbuhan jiwa anak didik yang dibesarkan dalam keluarga.
b.      Lingkungan masyarakat agamis akan dapat menunjang keberhasilan pendidikan dan sebaliknya lingkungan yang tidak sehat akan dapat menyebabkan terhambatnya dalam proses belajar mengajar.
c.       Orang tua yang belum memahami arti nilai nilai agama Islam akan mempengaruhi terhadap pendidikan anak[10].












BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan Agama sejak Indonesia Merdeka tahun 1945 telah mulai diberikan disekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama, tahun 1945 oleh menteri P.P.&K. (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama, yakni Alm. Ki Hajar Dewantara yang telah mengirim surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan, bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang, diperkenankan diganti dengan pelajaran Agama.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan dalam kamus Ilmiah Populer menjelaskan Mutu merupakan baik buruknya sesuatu, kualitas, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan). Pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk baik beruapa barang maupun jasa, baik yang dapat dipegang (tangible) maupun yang tidak dapat dipegang (intangible). Sedangkan mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.
Adapun dalam peningkatan mutu pendidikan, kepala sekolah dapat melaksanakannya dengan melalui beberapa komponen antara lain:
·         Guru
·         Rapat Guru
·         Siswa
·         Sarana dan Prasarana
·         Kerjasama dengan Wali Murid

Adapun  problem-problem yang biasanya dihadapi dalam meningkatkan mutunpendidikan adalah:
·         Sumber Daya Manusia
·         Pendidik
·         Peserta Didik
·         Kepala Sekolah
·         Partisipasi Masyarakat
·         Sarana Prasarana
problematika yang muncul ketika diterapkan di sekolah. Diantara problem tersebut adalah:
·         Problem Anak Didik
·         Problem Pendidik
·         Problem Kurikulum
·         Problem Evaluasi
·         Problem Manajemen
·         Problem Sarana dan Prasarana
·         Problem Lingkungan





[1] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), hal. 36-39

[2]  Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 505
[3] Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah yang Professional (Bandung : PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 85
[4] Prof. Dr. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 201
[5] Moh. Rifai MA, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Bandung: Jemarss, 1982), Jilid II, hlm. 85
[6] Fachruddin HS, Pilihan Sabda Rasul, Hadis-Hadis Pilihan (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 340
               
[7] Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan (Jakarta: Mutiara, 1984), hlm.68

[8] Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang: Universitas Malang, 2004), hlm.104.

[9] Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 198
[10] http://nengberbagi.blogspot.co.id/2014/05/problematika-pendidikan-agama-di-sekolah.html di akses 02 mei 2016, 21: 35