KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadiran Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat, kesehatan dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Ilmu
Pendidikan ini sehingga makalah dengan judul “problem dan peningkatan mutu pendidikan agama islam
(pai) disekolah umum
” bisa
sampai ditangan anda semua dan selesai sesuai waktu yang telah ditentukan.
Penulisan karya tulis ini tidak mungkin dapat
terselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari semua pihak. Untuk itu,
perkenankan penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:
1. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan ini dapat
diselesaikan.
2. Bapak
Dr. H. Tasman Hanani, M. A. selaku dosen mata Ilmu Pendidikan jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Agama
Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3. Dan
semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu.
Semoga melalui hasil makalah ini, memberikan banyak
manfaat yang berharga bagi setiap pembaca. Kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca untuk kemajuan selanjutnya yang lebih baik
dan maksimal. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih banyak dan mohon
maaf bila ada salah kata dalam penyusunan tugas makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Cover
Kata
Pengantar.............................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ iii
B.
Rumusan
Masalah............................................................................iv
C.
Tujuan............................................................................................. iv
BAB II PEMBAHASAN
A.
Mutu
pendidikan Agama Islam....................................................... 1
B. pelaksanaan dan kendala PAI di sekolah umum..............................9
C. upaya mengatasi problematika PAI di sekolah umum................... 14
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................... 18
Daftar Pustaka............................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi
ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi
apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang
ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi
latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat
beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu
usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam penididkan
terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah
pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi
dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi
interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Untuk
meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak
pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi
mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli
itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Beberapa
penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun
masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya
adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan
lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek
Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan
lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru,
Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan
Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita
simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk
membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. Namun, semua
hal tersebut belum dapat menghasilkan atau meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaiman
Mutu pendidikan Agama Islam ?
2. Bagaiman masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di
sekolah umum ?
3. Bagaimana upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?
C. Tujuan
1.
Bagaiman
Mutu pendidikan Agama Islam ?
2. Bagaiman masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di
sekolah umum ?
3. Bagaimana upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?
A.
SEJARAH PENDIDIKAN AGAMA
Pada periode zaman penjajahan Belanda,
disekolah sekolah umum secara resmi belum diberikan Pendidikan Agama, namun
sudah ada usaha-usaha dari mubaligh baik secara perseorangan maupun tergabung dalam organisasi-organisasi Islam dengan
cara bertabligh dimuka para siswa dari sekolah-sekolah umum. Kemudian pada
periode penjajahan Jepang, keadaan agak berubah, karena telah mulai ada kemajuan dalam pelaksanaan
Pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum. Dan mulai saat itu secara resmi pendidikan
agama boleh diberikan di sekolah-sekolah pemerintah, tetapi hal ini baru
berlaku di selolah-sekolah di Sumatera saja. Sedang daerah lain, masih belum
ada pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, yang ada hanyalah
pendidikan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan Agama sejak Indonesia Merdeka tahun
1945 telah mulai diberikan disekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI
pertama, tahun 1945 oleh menteri P.P.&K. (Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan) yang pertama, yakni Alm. Ki Hajar Dewantara yang telah mengirim
surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan, bahwa pelajaran budi
pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang, diperkenankan diganti
dengan pelajaran Agama. Tetapi berhubung
surat edaran itu belum mempunyai dasar yang kuat, maka pelaksanaannya hanya
suka rela saja. Kemudian pada tahun 1946, atas perjuangan umat Islam yang duduk
dalam BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), maka pendidikan
Agama Islam dapat diberikan disekolah-sekolah
Negeri dengan syarat, bila diminta oleh sekurang-kurangnya 10 orang
murid. Pelaksanaan pendidikan agama tersebut diserahkan kepada menteri agama
dengan persetujuan menteri P.P.&K.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bersama dengan
No. 176781 Kab. Tanggal 16 Juli 1951 (P.P.&K.) dan no K/1/9180 tanggal 16
Juli 1952 (Agama) yang memuat 10 pasal tentang pelaksanaan pendidikan agama di
sekolah-sekolah negeri, secara resmi pendidikan agama telah dimasukkan di
sekolah-sekolah negeri maupun swasta.[1] Pada
tahun 1960, pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia mulai mendapatkan
status yang agak kuat, dalam ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 bab II pasal 2
ayat 3, yang berbunyi:
“Menetapkan pendidikan Agama menjadi mata
pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sanpai dengan
universitas-universitas negeri, dengam pengertian bahwa murid-murid berhak
tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatan”.
Adanya tambahan kalimat: murid berhak tidak
ikut serta dan seterusnya, adalah hasil perjuangan PKI (Partai Komunis
Indonesia) yang pada saat itu mulai berkuasa di Indonesia dan menganut paham
Atheis, maka status pendidikan Agama di Indonesia masih bersifat fakultatif
yang berarti tidak mempengaruhi kenaikan kelas. Setelah mleltusnya G30SPKI pda
tahun1965, kemudian diadakan sidang umum MPRS pada tahun1966, maka mulai saat
itu status pendidikan Agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat.
Dengan adnya ketetapan MPRS no. XXVII/MPRS/1966 Bab I pasal1 yang berbunyi:
“menetapka
pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah
Dasar sampai dengan Universitas-universitas negeri”.
Sejak saat itu pendidikan Agama merupakan mata
pelajaran pokok di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan
perguruan tinggi dan mata pelajaran pendidikan agama ikut menentukan naik atau
tidaknya seorang murid. Menurut Tap MPR no. IV/MPR/1973 jo. Tap. MPR no.
IV/MPR/1978, dan TapMPR no. II/MPR/1983 tentang GBHN, pendidikan agama semakin
dikokohkan kedudukannya dengan dimasukkan dalam garis-garis besar haluan negara
sebagai berikut: “Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang
diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadp Tuhan
yang maha Esa termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalamkurikulum
sekolah-sekolah mulai dari Sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas
negeri”.Pembelajaran agama di sekolah umum tersebut semakin kokoh dengan
berbagai terbitan perundang undangan hingga lahirnya UU Sisdiknas no.20 tahun
2003.
B.
MUTU PENDIDIKAN
a.
Pengertian Mutu Pendidikan
Orang sering mengatakan tentang mutu pendidikan, tetapi kurang
jelasnya pengertian dari pada mutu pendidikan itu sendiri. Sehingga umumnya
banyak orang yang mengatakan atau mengidentifikasikan mutu pendidikan dengan
banyaknya lulusan dari pendidkan itu, atau kadangkadang menonjolkan seseorang
atau beberapa orang lulusanya. Dari keracuhan tentang mutu pendidikan tersebut,
dan untuk lebih mempermudah dalam kajian masalah ini perlu penulis kemukakan
tentang pengertian dari mutu pendidikan.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan dalam kamus Ilmiah Populer
menjelaskan Mutu merupakan baik buruknya sesuatu, kualitas, taraf atau derajat
(kepandaian, kecerdasan). Pendidikan perbuatan mendidik.[2] Jadi yang dimaksud dengan
mutu pendidikan adalah kualitas seorang guru baik pemahamanya atau kemampuanya
terhadap interaksi belajar mengajar yang indikatornya dapat dilihat dari hasil
prestasi belajar siswa, baik itu prestasi dalam menempuh ujian semester ataupun
prestasi dalam menempuh ujian akhir.
Pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu
produk baik beruapa barang maupun jasa, baik yang dapat dipegang (tangible)
maupun yang tidak dapat dipegang (intangible). Dalam konteks pendidikan,
pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil
pendidikan. Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat berbagai input,
seperti bahan ajar (kognitif, efektif dan psikomotorik), metodologi (bervariasi
sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sumber daya
lainnya serta penciptaan suasana belajar yang kondusif.
Sedangkan mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi
yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang
dicapai atau hasil pendidikan dapat berupa hasil tes kemampuan akademis dan
dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi disuatu cabang oleh raga,
seni dan sebagainya.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan.
Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian
hasil (output) harus dirumuskan dan harus jelas target yang akan dicapai dalam
tiap tahun ataupun dalam kurun waktu tertentu. Adapun kriteria mutu pendidikan
yang baik sekolahan diharapkan memiliki beberapa indikator yang menunjukkan
bahwa sekolahan tersebut sudah bisa dibilang bermutu. Indikatornya adalah
lingkungan sekolah yang aman dan tertib, sekolah memiliki tujuan dan target
mutu yang ingin dicapai, sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, adanya
pengembangan staff sekolah yang terus menerus sesuai dengan tuntutaniptek dan
adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadapberbagai aspek akademik
dan administratif serta pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan atau perbaikan
mutu pendidikan[3].
Begitu pula arti mutu dalam pendidikan agama Islam, hanya saja ada
sedikit tambahan yaitu bagaimana sekolah atau madrasah bisa menyeimbangkan
antara proses dan hasil pendidikan yang pada akhirnya
peserta didik (lulusannya) menjadi manusia muslim yang berkualitas.
Dalam arti, peserta didik mampu mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan
ketrampilan hidup yang berperspektif Islam. Pehaman manusia berkualitas dalam
khasanah pemikiran Islam sering disebut sebagai insankamil yang mempunyai
sifat-sifat antara lain manusia yang selaras (jasmani dan rohani, duniawi dan
ukhrawi), manusia moralis (sebagaiindividu dan sosial), manusia nazhar dan
i’tibar (kritis, berijtihad, dinamis,bersikap ilmiah dan berwawasan ke depan),
serta menjadi manusia yang memakmurkan bumi[4].
Dalam kaitanya dengan peningkatan mutu pendidikan maka tidak akan
terlepas dari adanya beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
akan dijelaskan berikut ini:
Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan
adalah sebagai berikut:
1) Kejelasan tujuan pendidikan di sekolah
2) Pengetahuan tentang anak didik
3) Pengetahuan
tentang guru
4) Pengetahuan tentang kegiatan supervisi
5) Pengetahuan
tentang mengajar
6) Kemampuan memperhitungkan waktu.[5]
b.
Upaya Sekolah dalam
Meningatkan Mutu Pendidikan
Kepala sekolah sebagai seorang yang telah diberi wewenag
untuk memimpin suatu lembaga pendidikan dan harus bertangungjawab secara penuh
terhadap penyelenggaraan pendidikan pada sekolah yang berada dibawah
pimpinanya. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW yang Artinya:
“Semua kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas yang
dipimpinnya”. (HR. Bukhori)[6]
Maju mundurnya suatu lembaga pendidikan itu banyak dipengaruhi oleh
kepala sekolah, termasuk juga masalah peningkatan mutu pendidikan. Adapun dalam
peningkatan mutu pendidikan, kepala sekolah dapat melaksanakannya dengan
melalui beberapa komponen antara lain:
1.
Guru
Guru merupakan salah satu komponen yang memegang peranan yang
sangat penting di dalam pelaksanaan pendidikan, karena itu kualitas seorang guru
tersebut harus ditingkatkan. Usaha peningkatan kualitas guru ini dapat
dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya adalah:
·
Meningkatkan
kedisiplinan guru
·
Meningkatkan pengetahuan guru
·
Inservice dan Upgrading
Inservice training ialah “segala kegiatan yang diberikan dan diterima oleh para petugas
pendidikan (kepala sekolah, guru, dsb.) yang bertujuan untuk menambah dan
mempertinggi mutu pengetahuan, kecakapan dan pengalaman guru-guru dalam
menjalankan tugas dan kewajibanya”. Program
Inservice training dapat mencakup barbagai kegiatan, seperti
mengadakan aplikasi kursus, ceramah-ceramah, workshop, seminar-seminar,
kunjungan ke sekolah-sekolah di luar daerah dan persiapan-persiapan khusus
untuk tugas-tugas baru. Inservice training ini sangat penting bagi guru,
karena jika guru itu hanya mengandalkan
dari pendidikan formal yang diperoleh di sekolah keguruan dalam mempersiapkan
tenaga pendidikan, maka belum merupakan persiapan yang cukup lengkap dan
memadai, juga adanya kurikulum sekolah yang mengalami perubahan yang
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan kebudayaan. Di
samping itu, adanya suatu kenyataan, bahwa karena adanya suatu kebutuhan yang
sangat mendesak. Dengan demikian untuk meningkatkan kualitas guru sebagai tenaga
pengajar dan tenaga pendidik inservice sangat diperlukan. Sedangkan up
grading (penataran) sebenarnya tidak berbeda jauh dengan inservice
training. Upgrading merupakan suatu usaha atau kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf ilmu pengetahuan dan kecakapan para pegawai,
guru atau petugas pendidikan lainnya, sehingga dengan demikian keahlian
bertambah
dan mendalam[7].
2.
Rapat
Guru
Rapat guru adalah suatu cara dalam rangka meningkatkan kualitas
guru di dalam mengemban tugas dan tanggungjawab sebagai pendidik. Salah satu bentuk rapat guru yang
dilaksanakan oleh kepala sekolah ialah konferensi atau musyawarah yang
bertujuan untuk membimbing guru-guru agar lebih efektif dalam perbaikan
pengajaran di sekolah. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang disebutkan dalam
Al-Qur’an Surat Asy-Syuro ayat 38
Artinya: (Bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhanya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antar mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan
kepada mereka.
Dari ayat di
atas menunjukan bahwa Islam memerintahkan agar dalam menyelesaikan suatu
masalah hendaknya dengan musyawarah.
3.
Siswa
Dalam meningkatkan mutu pendidikan siswa juga harus mendapatkan
perhatian, peningkatan mutu atau kualitas siswa ini dapat dilakukan dengan cara
antara lain:
·
Mengaktifkan
Siswa
·
Memberikan
Bimbingan
·
Pemberian Tugas pada Siswa
·
Mengadakan
Kegiatan Ekstra Kurikuler
4.
Sarana
Sarana mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dibutuhkan sarana
yang memadai dengan sarana yang cukup maka akan memudahkan pencapaian tujuan
pendidikan. terjadi sebaliknya, bila
tanpa adanya sarana yang memadai atau yang mendukungnya.
5.
Kerjasama
Dengan Wali Murid
Penyelenggaraan pendidikan akan lebih berhasil jika adanya kerja sama antara
sekolah dengan orang tua murid, di mana sekolah akan memberi informasi tentang
keadaan anaknya dirumah sehingga hubungan mereka itu adalah saling menunjang di
dalam keberhasilan belajar siswa.
c.
Faktor Pendukung dan Penghambat Mutu Pendidikan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan disuatu lembaga
pendidikan. Maka pasti ada problem-problem yang dihadapi, sehingga dapat
menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan. Adapun problem-problem yang biasanya dihadapi dalam
meningkatkan mutu pendidikan
adalah:
a)
Sumber Daya Manusia
Rendahnya
kualitas sumber daya manusia di Indonesia merupakan salah satu penyebab
terjadinya krisis yang terjadi. Kondisi inipun merupakan
hal yang sangat tidak menguntungkan dengan sudah dimulainya perdagangan AFTA (Asean
Free Trade Area) tahun 2003 yang menuntut kemampuan berkompetisi dalam
segala bidang terutama dalam bidang sumberdaya manusia. Adapun yang dapat
menjadi problem rendahnya sumberdaya manusia kita adalah:
b)
Pendidik
Banyak guru-guru di sekolah yang masih belum memenuhi syarat. Hal
ini mengakibatkan terhambatnya proses belajar mengajar, apalagi guru yang
mengajar bukan pada bidangnya. Para guru juga harus mengintegrasikan IMTAQ dan
IPTEK, hal ini berlaku untuk semua guru baik itu guru bidang agama maupun umum.
Selain dihadapkan dengan berbagai persoalan internal, misalnya persoalan
kurangnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru,
dan lain-lain. Guru juga mendapat dua tantangan eksternal, yaitu pertama,
krisis etika dan moral anak bangsa, dan kedua, tantangan masyarakat global.
Berdasarkan hasil penyelidikan dari seseorang ahli, bahwa guru dalam menunaikan
tugasnya, pada umumnya akan menghadapi bermacam-macam kesulitan, lebih-lebih
bagi guru yang baru menunaikan tugasnya. Kesulitan-kesulitan tersebut adalah:
·
Kesulitan
dalam menghadapi adanya perbedaan individual, baik itu perbedaan IQ, watak, dan
juga perbedaan background.
·
Kesulitan dalam memilih metode yang tepat.
·
Kesulitan
dalam mengadakan evaluasi dan kesulitan dalam melaksanakan rencana yang telah
ditentukan, karena kadangkadang kelebihan waktu atau kekurangan waktu.[8]
·
Banyak
sekali guru yang mempunyai penghasilan tambahan, misalnya berdagang, bahkan
“ngojek”. Akibat dari kegiatan tambahan ini, sukar diharapkan dari seorang guru
untuk sepenuhnya memusatkan perhatian pada terlaksanaya tanggung jawab sebagai
pendidik.
·
Sekolah
sering berganti-ganti guru disebabkan mereka mengajar sebagai pekerjaan
sambilan/sekedar waktu penantian untuk pengangkatan sebagai pegawai negeri,
menanti nikah, dan ada juga yang memang pegawai negeri.
·
Ketidaksesuaian
antara keahlian dan mata pelajaran yang diajarkan, oleh karena itu, sering
terjadi mata pelajaran agama ditugasi untuk mengajar mata pelajaran umum.
c)
Peserta Didik
Pendidikan kita selama ini dirasa membelenggu, akibatnya kedudukan
siswa sebagai objek. Mereka ditempatkan sebagai tong kosong yang dapat diisi
apa saja dalam diri siswa melalui
pendidikan. Kebutuhan siswa tidak pernah menjadi faktor
pertimbangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan dirasakan sebagi
kewajiban dan bukan kebutuhan. Pendidikan yang membebaskan dapat diwujudkan
dengan aktualisasi para siswa dalam proses belajarnya. Mereka dapat melakukan
berbagai kegiatan, tetapi tetap ada kontrol dari para guru/pendidik. Banyak
dari para peserta didik yang merasakan bosan dan jenuhmengikuti pelajaran di
kelas dikarenakan metode pengajaranya hanya memberlakukan mereka sebagai
pendengar setia. Kita lihat betapa mereka gembiranya ketika mendengar bel
istirahat/bel
pulang telah berdering, mereka seakan-akan terbebas dari sebuah
penjara. Hal ini hendaklah disadari oleh semua pendidik. Kita juga tidak bisa
menyalahkan mereka jika hasil studi mereka tidak memuaskan.
Dengan demikian perbedaan yang ada pada setiap peserta didik,
seperti perbedaan IQ, back ground, maupun watak dapat menjadi problem
jika gurunya juga tidak memperhatikan hal tersebut. Maka dari itu seorang
pendidik haruslah benar-benar faham akan kebutuhan dan keinginan peserta didik.
d)
Kepala Sekolah
Banyak sekali kekurangan-kekurangan yang ada di sekolah, seperti
kurang lengkapnya sarana prasarana, tenaga pengajar yang tidak professional,
kesejahteraan guru yang masih rendah, dan lain-lain.
Kita mungkin dihadapkan pada suatu pertanyaan bahwa siapakah yang
paling bertanggungjawab terhadap kondisi sekolah tersebut? Semua faktor
tersebut lebih merupakan akibat semata atau disebut dengan dependent
variable (variabel bergantung). Sedangkan yang
menjadi faktor penyebab atau independent variable (varibel
bebas) justru para pengelola madarasah.
Jika para pengelola tersebut memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengatur,
maka semua persoalan di atas dapat di atasi dengan baik. Dengan demikian bagus
tidaknya atau maju mundurnya suatu sekolah atau sekolah akan sangat bergantung
pada bagus tidaknya kualitas kepalanya. Maka dari itu, jika manajer dalam
sekolah dijabat oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian mengatur dan
tidak memiliki visi yang jelas tentu akan menghambat upaya pengembangan
dan peningkatan mutu pendidikanya.
Banyak bukti yang bisa ditunjukan dengan keberadaan kepala sekolah yang tidak
memiliki persyaratan menyebabkan sekolah berjalan di tempat, bahkan berjalan
mundur.
e)
Partisipasi Masyarakat
Di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, banyak warganya
yang belum paham akan pentingnya partisipasi mereka dalam dunia pendidikan
(lembaga pendidikan), lebih-lebih bila kondisi ekonomi mereka yang rendah.
Pusat perhatian mereka adalah pada kebutuhan dasar sehari-hari mereka. Berbeda
dengan apa yang terjadi di negara-negara maju, partisipasi warga masyarakat
sudah besar, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam melakukan
kontrol. Mengapa mereka bertindak seperti itu? Sebab mereka yakin sekali bahwa
pendidikan adalah modal utama bagi peningkatan kehidupan keluarga, masyarakat
dan bangsa mereka.[9]Perlu
kita ketahui juga bahwa kecenderungan yang terjadi di negara maju sekarang ini
adalah kriteria sekolah yang baik ialah sekolah yang memiliki hubungan baik
dengan orang tua siswa, tidak terbatas pada hubungan penyandang dana saja akan
tetapi
kebersamaannya terhadap keberhasilan pendidikan anaknya.
Kecenderungan ini dapat dikatakan sebagai tanda-tanda bahwa sekolah sebagai
institusi pendidikan semakin tidak terisolasi dari masyarakat.
f)
Sarana prasarana
Sarana prasarana pendidikan adalah merupakan hal yang sangat
penting, sebagai penunjang proses pendidikan. Kelengkapan sarana prasarana akan
dapat menciptakan suasana yang dapat memudahkan tercapainya tujuan pendidikan.
Tetapi kenyataan yang sering dihadapi
oleh lembaga
pendidikan, apalagi sekolah swasta adalah mengenai kurang lengkapnya sarana
prasarana pendidikan. Padahal hal tersebut sangat penting sekali dalam proses
belajar mengajar. Banyak sekali sarana prasarana yang dimiliki oleh sekolah
sudah tidak layak pakai
lagi sehingga
hal tersebut secara tidak langsung dapat menghambat proses belajar mengajar.
C. PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH
Pendidikan Agama Islam
diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama,
Pendidikan Agama Islam sebagai lembaga; diakuinya keberadaan lembaga
pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai mata
pelajaran; diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib
diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan
Islam sebagai nilai (value); yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam
sistem pendidikan. (Haidar Putra Daulay, 2009) Walaupun demikian,
pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul ketika diterapkan di
sekolah. Diantara problem tersebut adalah:
1. Problem Anak Didik
Problem yang berkaitan
dengan anak didik perlu diperhatikan, dipikirkan, dan dipecahkan, karena anak
didik merupakan pihak yang dibina untuk dijadikan manusia yang seutuhnya, baik
dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun dalam masyarakat.
Pengertian anak didik
adalah anak yang belum mencapai kedewasaan, baik fisik maupun psikologis yang
memerlukan usaha serta bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa guna dapat
melaksanakan tugasnya sebagai hamba Tuhan serta sebagai bagian dari masyarakat
dan warga negara. Peserta didik dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua
gerak kegiatan dan pengajaran. Pendidik tidak mempuyai arti apa apa tanpa
kehadiran peserta didik sebagai subyek pembinaan. Dalam perspketif pedagogis,
peserta didik adalah sejenis makhluk yang menhajatkan pendidikan.
Suwardi, menyatakan
bahwa sistem pendidikan Islam selama ini hanya mengandalkan kekuasaan
pendidikan, tanpa memperhatikan pluralisme subyek didik, yang sudah saatnya
harus dirubah agar tercipta masyarakat madani, yakni peserta didik yang aktif,
membiasakan berpendapat dengan penuh tanggung jawab serta membangun norma-norma
keberadaban.
Selama ini memang
dirasakan bahwa proses pendidikan Islam terkesan menganut asas subject matter
oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi yang kognitif
dan motorik yang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan
psikologi peserta didik. (Hujair, 2003)
Adapun problem-problem yang terdapat pada anak didik antara lain:
a. Problem kemampuan ekonomi
keluarga.
b. Problem intelegensia.
c. Problem bakat dan minat.
d. Problem perkembangan dan pertumbuhan.
e. Problem kepribadian.
f. Problem sikap.
g. Problem sifat.
h. Problem kerajinan dan ketekunan.
i. Problem pergaulan.
j. Problem kesehatan. (Ramayulis, 2004)
Dalam rangka memenuhi keselarasan antara jasmani dan rohani peserta didik
maka terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya problem bagi peserta didik
yang perlu diperhatikan. Faktor penyebab kesulitan belajar yang dirasakan oleh
peserta didik dikarenakan adanya pengaruh dari dalam diri peserta didik itu
sendiri, yang meliputi:
1) Intelengensi peserta didik
Setiap peserta didik sejak lahirnya memiliki kecerdasan yang berbeda-beda,
antara satu dengan yang lainya. Kemampuan peserta didik dalam kelas tidak sama,
hal ini mengakibatkan adanya hambatan bagi pendidik dalam menyampaikan
pelajaran (transfer knowledge). Jika pendidik hanya memperhatikan peserta didik
yang memiliki intelengensi yang tinggi, maka keadaan kelas tidak akan harmonis
yang pada akhirnya akan menimbulkan kecemburuan di hati peserta didik yang
berintelegensi rendah karena merasa tidak diperhatikan, sehingga pada akhirnya
tujuan intruksional khusus tidak tercapai. (Abu Ahmadi, 1997)
2) Minat peserta didik.
Minat pada peserta didik dapat diartikan sebagai rasa senang atau tidak
senang dalam menghadapi suatu subjek pelajaran. Prinsip dasarnya ialah bahwa
minat peserta didik akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki rasa
senang yang tinggi dalam melakukan tindakanya. Minat peserta didik erat
kaitannya dengan perhatian yang diberikannya dalam mengikuti proses belajar
mengajar. Kefektifan suatu proses pembelajaran akan dipengaruhi oleh kualitas
perhatian pendidik terhadap rangsangan.
3) Motivasi.
Motivasi dapat diartikan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang
mendorong seseorang untuk belajar. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa hasil
belajar pada umumya meningkat jika motivasi belajar bertambah baik motifnya
dari intrinsik maupun ekstrinsik. (Muhammad Surya, 2003)
Uraian di atas menjelaskan bahwa perhatian merupakan salah satu faktor
psikologis yang dapat membantu terjadinya interaksi antara pendidik dan peserta
didik dalam proses belajar-mengajar. Perhatian merupakan faktor terpenting
dalam usaha belajar mengajar pada peserta didik.
2. Problem
Pendidik
Dalam proses pendidikan khususnya pendidikan di sekolah, Pendidik memegang
peranan yang paling utama. Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut
dengan kata muaddib, muallim dan murabbi. Gambaran tentang hakikat pendidik
dalam Islam adalah orang orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi peserta didik, baik affektif,
kognitif dan psikomotorik.
Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab
sebagai pendidik yaitu manusia dewasa yang mempuyai hak dan kewajiban dalam
mendidik peserta didik. Oleh karena itu, seorang pendidik memikul tanggung
jawab yang bersifat personal dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab
atas dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial dalam arti bahwa setiap orang
yang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain. Hal ini tercermin dalam
firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS. At-Tahriim Ayat 6)
Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua, hal ini disebabkan
karena secara alami anak didik pada masa awal kehidupannya berada ditengah
tengah ayah dan ibunya. Sedangkan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah
disebut dengan guru/dosen.
Sebagai Mu’allim, pendidik akan melakukan transfer ilmu/pengetahuan/nilai
ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya, serta berusaha membangkitkan
semangat dan motivasi mereka untuk mengamalkanya. Sebagai Muaddib seorang
pendidik sadar bahwa eksistensi GPAI memiliki peran dan fungsi untuk membangun
peradaban yang berkualitas di masa depan melalui kegiatan pendidikan.
Diantara problem seorang pendidik adalah keterbatasan kemampuan menguasai
materi yang diajarkan. Dan jika muncul issu-issu yang mempertentankan
nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang
memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang
komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan
sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran
pendidikan agama. Guru-guru agama di beberapa sekolah selain kurang mendalami
materi yang diajarkan, juga sering kali mengajar tanpa memperhatikan
didaktik-metodik dan psikologi anak. Agar pendidikan agama dapat mencapai hasil
sesuai tujuan yang diharapkan, maka setiap guru agama harus mengetahui dan
menguasai berbagai metode pembelajaran dan pendekatan. Namun pada kenyataannya,
pelajaran pendidikan agama di sekolah masih dominan menggunakan metode ceramah.
Selain itu, problem sumber daya kependidikan secara umum yang merupakan
masalah pokok yang dihadapi pendidikan Islam adalah rendahnya kualitas tenaga
pendidik. Fazlur Rahman menyatakan Indonesia seperti halnya negeri-negeri
muslim besar lainnya juga menghadapi masalah pokok dalam modernisasi pendidikan
Islam yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan
riset, dikarenakan pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari pekerjaan
tambahan di luar lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupanya tiap
bulan. Akibatnya, etos kerjanya sebagai pendidik agama di sekolah sangat
menurun.
Pendidik dalam pendidikan agama Islam dituntut untuk komitmen terhadap
profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan professional,
bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya,
sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous
improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model model
yang sesuai dengan tuntutan zamanya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa
tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada masa
zamanya. (Muhaimin, 2002)
Dalam perspektif pendidikan Agama Islam di Sekolah, guru seringkali
mengalami kendala dalam menanamkan pembiasaan ajaran Islam di sekolah. Hal ini
semata-mata disebabkan karena guru tidak memiliki kompetensi yang matang, serta
juga tidak didukung oleh penguasaan konsep internalisasi keilmuan antara ilmu
agama dan ilmu umum oleh guru-guru bidang studi lainnya.
3.
Problem Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu
sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan
pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada
semua jenis dan tingkat pendidikan. Dalam Bahasa Arab kurikulum diistilahkan
manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai
kehidupan. Sedangkan arti manhaj/kurikulum dalam pendidikam Islam sebagaimana
yang terdapat dalam kamus At-Tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media
yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Definisi tentang kurikulum juga telah dirumuskan oleh para pakar
pendidikan, diantaranya definisi yang dikemukakan oleh M. Arifin yang memandang
kurikulum sebagai seluruh mata pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan
dalam suatu institusional pendidikan. Nampaknya definisi ini masih terlalu
sederhana dan lebih terpaku pada materi pelajaran semata. Sementara, Zakiah
Daradjad menganggap kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan dalam
bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan
tertentu. Definisi kurikulum ini nampaknya lebih luas dari definisi yang
pertama, karena kurikulum tidak hanya mencakup pada materi pelajaran semata
namun juga mencakup seluruh program di dalam kegiatan pelajaran. (Ramayulis, 2004)
Dalam pandangan dunia pendidikan, keberhasilan program pendidikan sangat
tergantung pada perencanaan program kurikulum pendidikan tersebut, karena
“kurikulum, pada dasarnya berfungsi untuk menyediakan program pendidikan
(bluefrint) yang relevan bagi pencapaian sasaran akhir program pendidikan.
Dengan kata lain, Fungsi kurikulum adalah menyiapkan dan membentuk peserta
didik agar dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi tertentu sesuai
dengan orientasi kurikulum dan sasaran akhir program pendidikan. Program
kurikulum diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa
yang akan datang, apabila kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini dan
masa akan datang tentu akan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap
calon-calon penganggur pada masa yang akan datang. (Hujair, 2003)
Dalam hal ini kurikulum pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada
aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan-hafalan teks
keagamaan yang sudah ada. Proses pendidikan agama Islam, seringkali dapat
disaksikan praktek pendidikan yang kurang menarik dari sisi materi dan metode
penyampaian yang diaplikasikan. Desain kurikulum pendidikan agama Islam sangat
didominasi oleh masalah yang sangat normative, apalagi materi pendidikan Islam
yang kemudian disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan atau menekankan
ortodoksi dalam pelajaran mata agama yang diidentikkan dengan keimanan, dan
bukan ortopraksis yaitu bagaimana mewujudkan iman dalam tindakan nyata
operasional. (Hujair, 2003)
Amin Abdullah misalnya, salah seorang pakar keislaman non tarbiyah, juga
telah menyoroti kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang selama ini
berlangsung di sekolah, antara lain sebagai berikut:
a. Kurikulum Pendidikan Islam lebih banyak terkosentrasi pada persoalan-persoalan
teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata.
b. Kurikulum Pendidikan Islam kurang konsen terhadap persoalan bagaimana
mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan nilai yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara dan media.
c. Kurikulum Pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada aspek
korespondensi tekstual, yang lebih menitikberatkan pada hafalan teks keagamaan
yang sudah Ada
d. Sistem evaluasi, bentuk -bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan
prioritas utama pada aspek kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai
bobot muatan “nilai” dan “makna“ spiritual keagamaan yang fungsional dalam
kehidupann sehari hari. (Muhaimin, 2002)
4.
Problem Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang sangat penting.
Dengan evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran yang
dilaksanakan. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat mengukur segi
kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Kebanyakan evaluasi yang
dilakukan selama ini hanyalah mengukur kognitif siswa saja, sedang afektif dan
psikomotoriknya terabaikan. Hasil evaluasi kognitif tersebut dimasukkan ke
dalam raport siswa, maka kemungkinan akan terjadi penilaian yang kurang
obyektif. Adakalanya siswa yang rajin beribadah lebih rendah nilainya daripada
siswa yang malas beribadah.
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh
guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang
dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi
sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan
agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara
benar. (Mochtar Buchori, 1994)
5.
Problem Manajemen
Manajemen merupakan terjemahan dari kata management yang berarti
pengelolaan, ketata-laksanaan. Management berakar dari kata to manage yang
berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, atau mengelola.
Manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai suatu yang berkenaan dengan
pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, baik
tujuan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. (Mulyasa, 2002)
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral yang tidak dapat
dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasanya tanpa manajemen
tidak mungkin tujuan pendidikan dapat direalisasikan secara optimal, efektif
dan efesien.
Manajemen pendidikan Islam mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama
yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan. Dari kerangka inilah tumbuh kesadaran untuk melakukan upaya
perbaikan dan peningkatan kualitas menajemen pendidikan, baik yang dilakukan
pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Manajemen pendidikan agama Islam merupakan tanggung jawab Departemen Agama,
sehingga hal ini mempuyai dampak pada pendanaan pendidikan. Artinya anggaran
belanja negara bidang pendidikan hanya dialokasikan kepada lembaga lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan
pendidikan Islam tidak diambil dari anggaran negara bidang pendidikan, tetapi
dari anggaran bidang agama, sehingga anggaran pembiayaan pemerintah untuk
pendidikan Islam jauh lebih kecil dibandingkan untuk pendidikan umum.
Upaya lain adalah diundangkan UUSPN 1989 sebagai usaha untuk menngabungkan
(integrasi) sistem pendidikan yang lebih dikenal dengan istilah pendidikan satu
atap. Akan tetapi upaya ini semua sampai saat ini belum pernah selesai dan
terimplementasi dengan baik. Dengan kata lain dalam menajemen pendidikan di
Indonesia, pendidikan Islam belum mengalami transformasi posisi yang berarti
dan diberlakukan sacara sejajar oleh pemerintah dengan pendidikan umum di bawah
Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam
pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia, “posisi pendidikan Islam masih
dalam posisi marginal.
Inilah realitas yang dihadapi, sehingga menjadikan pendidikan Islam secara
umum kurang diminati dan kurang mendapat perhatian. Hal ini didukung dengan
materi kurikulum dan manajemen pendidikan yang kurang memadai, kurang relevan
dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Lulusannya kurang memiliki
ketrampilan untuk bersaing dalam dunia kerja. Melihat kenyatatan ini, maka
reformasi manajemen pendidikan Islam menjadi suatu keharusan. Sebab dengan
langkah-langkah berusaha pembenahan dan peningkatan profesionalisme
penyelenggaran pendidikan akan mampu menjawab berbagai tantangan dan dapat
memberdayakan pendidikan Islam di masa depan. Dalam hal ini pendidikan agama
Islam menerapkan manajemen berbasis sekolah artinya pengelolaan pendidikan
pendidikan mengarah kepada pengelolaan kepada pengelolaan manajemen berbasis
sekolah.
Penerapan manajemen berbasis sekolah juga perlu disesuaikan dengan
kebutuhan dan minat peserta didik, pendidik, serta kebutuhan masyarakat
setempat.
Bank dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatiakan dalam
penerapan manajemen berbasis sekolah. Faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban
sekolah yang menawarkan keluasan pengelolaan masyarakat, kebijakan dan
prioritas pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan berhak merumuskan
kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan
program peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan, peranan orang tua dan
masyarakat perlu dihimpun dalam satu badan sekolah yang dapat berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan sekolah, peranan profesionalisme kepala sekolah,
pendidik, administrasi dalam mengoperasikan sekolah. (Hujair, 2003)
6.
Problem Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan agama Islam adalah peralatan dan perlengkapan yang secara
langsung dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan khususya proses belajar
mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi serta peralatan dan media
pengajaran yang lain. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah
fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalanya proses pendidikan atau
pengajaran seperti kebun, halaman, taman sekolah, jalan menuju sekolah. (Muhammad
Surya, 2003) Zakiah Deradjat menyamakan sarana pendidikan dengan media
pendidikan. Dalam hal ini, Gegne mendefinisikan sarana pendidikan sebagai alat
fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang peserta didik untuk
belajar.
Sarana pendidikan Agama Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi secara
optimal dan berarti pada jalanya proses pendidikan Islam. Dengan demikian
apabila pendidikan Islam memanfaatkan dan menggunakan sarana pendidikan, maka
peserta didik akan memiliki pemahaman yang bagus tentang materi yang diperoleh,
dan juga diharapkan akan memiliki moral yang baik.
Sarana dan prasarana pendidikan agama Islam yang baik, diharapkan dapat
menciptakan sekolah yang bersih, rapi dan indah sehingga menciptakan sekolah
yang menyenangkan bagi pendidik maupun peserta didik yang berada di sekolah.
7.
Problem Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam
kehidupan yang senantiasa berkembang. Kondisi lingkungan mempengaruhi proses
belajar dan hasil belajar. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik/ alam
dan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial mempuyai peran penting terhadap berhasil tidaknya
pendidikan agama karena perkembangan jiwa peserta didik sangat dipengaruhi oleh
keadaan lingkunganya. Lingkungan akan dapat menimbulkan pengaruh positif dan
negatif terhadap pertumbuhan jiwanya, dalam sikap maupun perasaan keagamaan.
Problem lingkungan ini
mencakup:
a. Suasana keluarga yang tidak harmonis akan mengkibatkan pengaruh yang kurang
baik terhadap perkembangan peserta didik.
b. Lingkungan masyarakat yang
tidak/kurang agamis akan menggangu perjalanan proses belajar mengajar
disekolah.
c. Kurangnya pemahaman orang tua akan arti nilai-nilai agama Islam akan
mempengaruhi terhadap pendidikan anak.
D. UPAYA MENGATASI PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA DI
SEKOLAH
Untuk mengatasi problematika pelaksanaan pendidikan
agama Islam di sekolah dapat diupayakan beberapa solusi yang diharapkan mampu
meyelesaikan permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang akan diuraikan sebagai
berikut:
1. Upaya Mengatasi Problematika Peserta Didik dalam
Pendidikan Agama Islam
Untuk mengatasi berbagai problem peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan
agama di sekolah, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Solusi terhadap problem yang terdapat pada peserta didik sangat dipengaruhi
oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan kegiatan belajar baik siap
dalam kondisi fisik atau psikis (jasmani atau mental) individu yang
memungkinkan dapat melakukan belajar.
2. Adanya motivasi terhadap peserta didik baik motivasi intrinsik yaitu
motivasi yang datang dari peserta didik atau motivasi ekstrintik yaitu motivasi
yang datang dari lingkungan di luar diri peserta didik. Dalam hubungan ini
motivasi dapat dilakukan dengan jalan menimbulkan atau mengembangkan minat
peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya. Para pendidik diharapkan
mampu menumbuhkan dan mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan
kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian peserta didik akan memperoleh
kepuasan dan unjuk kerja yang baik. (Muhammad Surya, 2003) Untuk dapat menjamin belajar dengan baik
peserta didik harus memiliki perhatian terhadap mata pelajaran yang
dipelajarinya. Sebaliknya jika bahan pelajaran tidak menarik, maka akan
membosankan. Hal itu akan mengakibatkan prestasi belajar peserta didik di
sekolah akan jadi turun. Karena itu pendidik harus mengusahakan agar bahan
pelajaran yang diberikan dapat menarik perhatian siswanya. Jika perlu diberi
selingan dengan humor, agar peserta didik tidak merasa jenuh menerima mata
pelajaran
3. Mengingat adanya hambatan terhadap peserta didik tersebut maka sebaiknya
pendidik mengadakan test untuk mengetahui kemampuan peserta didik. Apabila
mayoritas peserta didik memiliki kemampuan intelegensi tinggi, maka bagi
peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan memberikan pelajaran
tambahan atau peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan dengan
cara jalan lain yaitu dengan menempatkan peserta didik pada kelas yang memiliki
kemampuan rata rata yang sama.
2. Upaya Mengatasi Problem Pendidik dalam Pendidikan
Agama Islam.
Dalam peningkatan etos kerja dan meningkatkan kualitas pendidikan agama
Islam di sekolah, maka yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
a. Penghasilan pendidik
dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena rendahnya gaji pendidik akan
mengakibatkan terhambatnya usaha dalam meningkatkan profesionalitas kualitas
pendidik.
b. Seorang pendidik
memahami tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta didik.
c. Seorang pendidik harus mampu menggunakan variasi metode mengajar dengan
baik, sesuai dengan karakter materi pelajaran dan situasi belajar mengajar.
(Abu Ahmadi, 1997)
3. Upaya Mengatasi Problem Kurikulum dalam Pendidikan
Agama Islam
Dalam mengatasi problem kurikulum, maka pembuatan kurikulum haruslah
memperhatikan kesesuaian kurikulum dengan perkembangan zaman pada masa kini
serta masa-masa yang akan datang, sehingga peserta didik memiliki bekal dalam
menghadapi kompetisi dalam kehidupan nyata yang cenderung hedonis dan
materialis. Pembuatan kurukulum juga harus menyeimbangkan antara teoritis dan
praktis dalam keagamaan. Peserta didik harus dilatih bagaimana ia mempraktikan
teori yang ada dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik mengerti bagaimana
ia nantinya harus mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasil studi bank dunia, menyimpulkan bahwa salah satu komponen pendidikan
yang ikut menentukan baik-buruknya sistem pendidikan adalah kurikulum yang
diberlakukan. Badan moneter dunia ini juga mensyaratkan sistem pendidikan
sebuah negara dapat baik bilamana memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
Pertama, kurikulum memenuhi
sejumlah kompetensi untuk menjawab tuntutan dan tantangan arus globalisasi. Kedua,
kurikulum yang dibuat bersifat lentur dan adaptif dalam menghadapi perubahan
yang kompetitif. Ketiga, kurikulum berkorelasi dengan pembangunan sosial
dan kesejahteraan masyarakat. (Muhaimin,
2003)
4. Upaya Mengatasi Problem Evaluasi dalam Pendidikan Agama Islam
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh
guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang
dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi
sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan
agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara
benar. (Mochtar Buchori, 1994)
5. Upaya Mengatasi Problem Manajemen dalam Pendidikan
Agama Islam
Dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah, seharusya terjalin hubungan
antara sekolah dengan orang tua peserta didik dimaksudkan agar orang tua
mengetahui berbagai kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah
untuk kepentingan peserta didik dan juga orang tua peserta didik mau memberi
perhatian yang besar dalam menunjang program program sekolah.
Terjalinya sekolah dengan masyarakat bertujuan memelihara kelangsungan
hidup sekolah dan memproleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka
mengembangkan pelaksanan program program sekolah. (Sudarwan Danim, 2003).
6. Upaya Mengatasi Problem Sarana dan Prasarana dalam
Pendidikan Agama Islam
Sarana pendidikan sangat menunjang dalam proses belajar mengajar, hal ini
akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di madrasah.diantaranya
adalah :
·
Gedung sekolah yang
memadai sehingga membuat peserta didik senang dan bergairah belajar di dalam
sekolah.
·
Sekolah harus memiliki perpustakaan dan
dimanfaatkan secara optimal baik oleh pendidik atau peserta didik.
·
Adanya alat alat peraga yang lengkap akan
sangat membantu pencapaian tujuan pendidikan.
·
Adanya alat sarana untuk ibadah.
7.
Upaya Mengatasi Problem Lingkungan dalam Pendidikan Agama Islam
a. Suasana keluarga yang aman dan bahagia, itulah yang diharapkan akan menjadi
wadah yang baik dan subur bagi pertumbuhan jiwa anak didik yang dibesarkan
dalam keluarga.
b. Lingkungan masyarakat agamis akan dapat menunjang keberhasilan pendidikan
dan sebaliknya lingkungan yang tidak sehat akan dapat menyebabkan terhambatnya
dalam proses belajar mengajar.
c. Orang tua yang belum memahami arti nilai nilai agama Islam akan
mempengaruhi terhadap pendidikan anak[10].
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan Agama sejak Indonesia Merdeka tahun 1945 telah mulai
diberikan disekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama, tahun 1945
oleh menteri P.P.&K. (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama,
yakni Alm. Ki Hajar Dewantara yang telah mengirim surat edaran ke daerah-daerah
yang isinya menyatakan, bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa
penjajahan Jepang, diperkenankan diganti dengan pelajaran Agama.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan dalam kamus Ilmiah Populer
menjelaskan Mutu merupakan baik buruknya sesuatu, kualitas, taraf atau derajat
(kepandaian, kecerdasan). Pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat)
keunggulan suatu produk baik beruapa barang maupun jasa, baik yang dapat
dipegang (tangible) maupun yang tidak dapat dipegang (intangible).
Sedangkan mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang
dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.
Adapun dalam peningkatan mutu pendidikan, kepala sekolah dapat
melaksanakannya dengan melalui beberapa komponen antara lain:
·
Guru
·
Rapat
Guru
·
Siswa
·
Sarana
dan Prasarana
·
Kerjasama
dengan Wali Murid
Adapun problem-problem yang
biasanya dihadapi dalam meningkatkan mutunpendidikan adalah:
·
Sumber
Daya Manusia
·
Pendidik
·
Peserta
Didik
·
Kepala
Sekolah
·
Partisipasi
Masyarakat
·
Sarana
Prasarana
problematika yang muncul ketika diterapkan di sekolah.
Diantara problem tersebut adalah:
·
Problem Anak Didik
·
Problem Pendidik
·
Problem Kurikulum
·
Problem Evaluasi
·
Problem Manajemen
·
Problem Sarana dan Prasarana
·
Problem Lingkungan
[1] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional:
Paradigma Baru, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), hal. 36-39
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 201
[5] Moh. Rifai MA, Administrasi dan Supervisi
Pendidikan (Bandung:
Jemarss, 1982), Jilid II, hlm. 85
[8] Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam, (Malang: Universitas Malang, 2004), hlm.104.
[10] http://nengberbagi.blogspot.co.id/2014/05/problematika-pendidikan-agama-di-sekolah.html
di akses 02 mei 2016, 21: 35