BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Teori Pengetahuan yang dikembangkan oleh Plato dan Descartes
tentang Rasionalisme bahwa dengan Prosedur akal kita sudah dapat menemukan
pengetahuan dalam arti yang paling benar, yaitu penegetahuan yang dalam keadaan
apapun tak mungkin salah. Dan menyatakan bahwa kita tidak akan menemukan
pengetahuan yang pasti secara mutlak dalam pengalaman Inderawi.
Sebagai Reaksi dari teori
rasionalisme itu munculah teori Empiris, dimulai dari John Locke, kaum Empiris
berharap menemukan basis untuk pengetahuan kita dipengalaman Inderawi. Namun
Locke, Berkeley dan Hume mereka mendapatkan bahwa pengalaman inderawi tidak
dapat menjelaskan tentang pengetahuan yang lebih jauh tentang Dunia. Dan dari
sinilah muncul aliran Positivisme. Aliran positivisme dan rasionalisme
termasuk empirisme merupakan dua aliran yang bertentangan. Rasionalisme kritis
berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah.
Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif, harus
selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut terbuka upaya
penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus menerus sehingga
dapat lebih dikokohkan (corroborated). Paradigma positivisme maupun
neo-positivisme pun nampaknya mulai terusik dengan hadirnya seorang tokoh
bernama Karl Popper. Ia secara khusus mengkritik pandangan neo-positivisme
(Vienna Circle), yang menerapkan pemberlakuan hukum umum (induksi) sebagai
teori ilmiah. Menurutnya, peralihan dari partikular ke yang universal
(generalisasi) itu secara logis tidak sah.
Ciri utama Popper dalam pemecahan masalahnya adalah dengan teori problem-solving yaitu pendekatan
objektivis untuk membela objektivitas dan rasionalitas pemahaman manusia dan
evolusionerndinamis untuk membela sifat dinamis ilmu dan pengetahuan manusia
pada umumnya. Gagasan Popper tentang cara belajar dari keslahan yang berarti kemampuan memanfaatkan bahwa
manusia bisa salah (fallible), teori problem-solving erat kaitannya dengan
gagsan metafisis yang dikembangkan Popper pada usia tuanya terutama tentang
dunia pengetahuan objektif.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup Karl R Popper ?
2.
Bagaimana pandangan Popper terhadap Epistimologi ?
3.
Bagaimana Pemikiran Popper dalam periode metodologis ?
4.
Bagaimana Karakteristik
Prinsip Falsifikasi Popper?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui riwayat hidup
Karl R Popper
2.
Mengetahui pandangan Popper terhadap Epistimologi
3.
Mengetahui Pemikiran Popper dalam periode metodologis
4.
Mengetahui Karakteristik
Prinsip Falsifikasi Popper
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Karl R Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina, 28 juli 1902.
Ayahnya, Dr. Simun Siegmund Carl Popper seorang pengacar yang sanga t berninta
terhadap filsafat dan problem sosial. Tidaklah heran ketikar Karl R Popper sangat
tertari terhadap dunia filsafat karena ayahnya mengkoleksi buku- buku filsafat
karya dari filsuf- filsuf ternama.
Pada usianya yang ke-16 Karl
meninggalkan sekolahnya “Realgymnasium” dengan alasan bahwa pelajaran-
pelajaran bahwa disekolahnya sangat membosankan. Lalu ia menjadi pendengar
bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia baru diterima sebagai
mahasiswa, pada tahun 1928 ia mertaih gelar Doktor Filsafat. Setelah mendapatkan
gelar doktor Popper bermukim di Selandia Baru dan diangkat menjadi profesor di London
School of Ecinomic tahun 1948 berkat karyanya yang anti komonis, Logical
The Society and Its Enemies (1945). Dan pada usia yang ke-17 ia menjadi
seorang yang anti- Marxis, dia merasa kecewa terhadap kaum Marxisme yang
menggunakan berbagai cara untuk mendapkan kebebasan dan terbuuhya seorang
pemuda yang beraliran sosial dan bersama teman- temannya[1].
Hal itu
mengajarkannya pada beberapa hal yang
tak pernah di lupakannya. Darinya ia menarik pelajran tentang arti sebuah kebijaksanaan
ucapan Socrates “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan menyadari perbedaan
antara pikiran Dogmatis dan kritis. Salah satu peristiwa yang mempengaruhi
pengetahuan Karl adalah Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan
intelektual Popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teori
Newton dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang
diikemukakan oleh Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein
yang mengatakan bahwa teorinya tidak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes
tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang
dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.[2]
Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap
kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial
berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah
dapat meneguhkannya.Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada
bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa
pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus
berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies,
dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk
akal” adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan
keinginan untuk mengkritik diri sendiri.
Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat
untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan
bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji
teori tentang ketidak benarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan
ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sedikit
kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.
B. Pandangan Popper tentang Epistemologi
Epistemologi atau teori
pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasarnya ditegaskan bahwa manusia memiliki pengetahuan[3]. Plato
sebagai pemula atau pencetus awal adanya epistimologi dengan menangani pertanyaan-pertanyaan
dasar seperti Apa pengetahuhan itu?, dimana pengetahuan biasanya diperoleh?,
diantara apa kita bisa mengetahui dari beberapa yang benar-benar pengetahuan?,
dapat-kah indra menghasilkan pengetahuan?, bisakah akal memberi pengetahuan?, apa
hubungannya antara pengetahuan dengan kepercayaan yang benar?. Telah banyak yang berusaha mengembangkan
teori pengetahuan untuk menjelaskan sumber, dasar, dan kepastian pengetahuan
manusia. Yang mereka kerjakan merupakan sesuatu yang fundamental nilainya untuk
perkembangan manusia, teori pengetahuan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
pokok yang mendasari ilmu pengetahuan, definisi paling elementer dari suatu
karya ilmiah yaitu suatu sintesis
pengetahuan manusia jika direflesikan pada dasarnya mengandaikan adanya
pandangan yang menentukan apa yang dimaksud pengetahuan manusia, hakikatnya,
ruang lingkup, dan syarat-syarat umumnya. Dalam perkembangan epistemologi
pemecahan yang ditunggu-tunggu menimbulkan jawaban yang berlainan, diantara
banyak aliran yang mencoba menyusun teori pengetahuan yang disebut dua aliran
besar yaitu rasionalisme dan empirisme dalam pemikiran Karl R. Popper.[4]
1. Rasionalisme kritis
Popper termasuk
golongan filusuf yang mencoba menjembatani konflik antara rasionalisme dan
empirisme, menurutnya pengetahuan tidak mungkin merupakan suatu tiruan atau
impersi realitas maka teori-teori ilmiah adalah buatan manusia, pengetahuan
bersifat apriori secara psikologis namun ia menyalahkan anggapannya tentang
suatu pengetahuan bisa sah secara apriori ( pra-duga), menurut popper toeri
merupakan hasil penemuan kita. Tetapi bisa saja teorinya sebagai dugaan-dugaan
yang kurang beralasan, konjektur, hipotesis yang berani, dari teori-teori ini
kita membangun suatu dunia yang bukan dunia yang sebenarnya. Popper membendakan
istilah akal dengan rasionalisme, dalam arti luas akal dan rasionalisme dipakai
tidak hanya mencakup kegiatan intelektual melainkan juga pengamatan dan
percobaan juga, dalam arti sempit akal dan rasionalisme dipertentangkan bukan
terhadap rasionalisme melainkan terhadap empirisme, rasionalisme menggunakan
akal atas pengamatan dan percobaan yang disebut intelektualisme. Rasionalisme
merupakan sikap untuk memecahkan masalah sebanyak mungkin dengan bersandarkan
pada akal yaitu pikiran jernih dan pengalaman lebih dari pada bersandar pada
perasaan dan nafsu. Popper mendukung rasionalisme kritis dan mengakui kenyataan
bahwa sikap rasionalis yang fundamental merupakan hasil kepercayaan pada akal,
rasionalisme yang diperjuangkan Popper
bersifat jatmika ( modest ) kritis trehadap diri sendiri dan mengenal
batas-batas tertentu. .
2.
Empirisme kritis
Teori empirisme Popper
mengatakan pengalaman dan percobaan bukan digunakan untuk meneguhkan suatu
teori, melainkan untuk mengadakan penyangkalan (falsfifikasi) terhadap teori.
Suatu teori tidak dapat diteguhkan melainkan disangkal, namun refutasi yang
gagal merupakan penguat terhadap teori yang dicoba direfutasikan. Sejalan
dengan teori tentang falsifikasi merupakan tesis Popper bahwa kita dapat belajar
dari kesalahan-kesalahan kita, semua pengetahuan tumbuh hanya lewat koreksi
kesalahan-kesalahan kita. Pengamatan memperoleh peran sebagai ujian yang bisa
membantu menemukan kesalahan-kesalahan kita, begitu pula dalam penalaran sosial
untuk meberi kritikan tentang usaha kita yang sering salah dalam memecahkan
masalah-masalah. Popper memodifikasi pemikiran kant tentang rasionalisme kritis
dan empieisme kritis, pemikiran popper merupakan sentuhan akhirnya saja,
termasuk dalam teori kant tentang “akal kita tidak menarik hukum-hukum dari
alam, melainkan mendesaknya atas alam”, menurut Popper teori harus dianggap
sebagai ciptaan bebas akal kita sendiri, hasil suatu percobaan menahami hukum
alam secara intuitif.[5]
3. Ciri pokok epistemologi Popper
a. Pendekatan Objektivis
Yaitu pendekatan yang
memandang pengetahuan manusia sebagai suatu system pernyataan atau teori yang
dihadapkan pada diskusi kritis, pendekatannya dengan mengetahui problem-problem
objektif, prestasi objektif dalam hal ini pemecahan problemnya, pengetahuan
objektif tentang pandangan diri sendiri terpisah dari subjek pendukungnya,
kritik yang mengandaikan teori-teori yang telah diformulasikan secara
linguistik.[6]
b. Problem-solving
Metode ilmu pengetahuan digambarkan Popper sebagai
metode pemberian solusi tentative atas problem dengan konjektur-konjektur yang
dikontrol oleh kritik yang keras. Pertumbuhan ilmiah mengunakan metode
problem-solving yang memandang epistemologi dengan pendekatan objektivis dari
sudut ilmu pengetahuan. Bagi Popper problem pengetahuan yang paling menarik
adalah pertumbuhan pengetahuan ilmiah, ia juga menerapkan pertumbuhan
pra-ilmiah yaitu cara manusia atau bahkan binatang dalam proses memperoleh
pengetahuan yang baru tentang dunia.[7]
C. Pemikiran popper dalam
periode metodologis
Menurut popper, problem
induksi terpecahkan sebab tidak ada induksi: teori universal tidak dapat
ditarik dari pernyataan singular, tetapi bisa direfutasikan pleh pernyataan-
pernyataan singular, karena teori universal bisa bertentangan dengan gambaran
fakta yang teramati. Sebelum memasuki teori Induksi dan Teori Demarkasi “
metodologis” catatan popper tentang istilah itu. Karya popper tentang hal ini
bisa dibagi kedalam dua periode, yaitu peride metadologis yang berakhir pada
tahun 1960 dan periode metafisis yang mulai pada tahun 1960-an.[8]
1.
Problem induksi dan usaha popper untuk memecahkannya
Ilmu-ilmu empiris
ditandai oleh ilmu induktif, interfensi disebut induktif jika bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal, David hume mengembangkan induksi tentang pernyataan
yang berdasarkan observasi tunggal. Menurut Kant induksi yang diformulasikan
sebagai prinsip penyebab universal secara sah oleh apriori, bahwa seluruh ilmu
berdasarkan pada fondasi yang kesahannya tidak bisa ditunjukan, ini menyebabkan
filusuf empiris menjadi irasionalis, bahkan mistis, induksi ini telah
menyodorkan suatu masalah yang tak terpecahkan
justru pada dasar pengetahuan dasar manusia, sebelum terpecahnya masalah
seluruh ilmu harus dianggap melayang-layang tanpa dasar yang kukuh sekalipun
konsistennya secara instrinsik dan menghasilkan manfaat secara ekstrinsik.
Maka Popper mecoba
memberikan teori pengujian menurut metode deduktif, namun sebelum membahasnya
Popper berbicara tentang perbedaan antara psikologi pengetahuan yang
berdasarkan fakta empiris dengan logika pengetahuan yang hanya memeperlihatkan
hubungan-hubungan logis. Menurutnya logika terhadap induktif disebabkan oleh
pencampur adukan antara problem psikologi dengan problem epistemology, metode bersifat deduktif yaitu menemukan
seberapa jauh akibat-akibat yang dihadapi dari tuntutan dengan prakteknya.
2. Problem Demarkasi dan usaha Popper memecahkannya
Problem demarkasi
merupakan problem menentukan batas-batas antara ilmu dan non-ilmu atau pseudo
ilmu, menurutnya sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari verifiaksi
atas teorinya, melainkan tes-tes yang akan merefrutasikannya, dengan kata lain
kriterium demarkasi antara ilmu dan pseudo-ilmu ialah falsifiabilitas. Suatu
pernyataan bersifat ilmiah bila difalsifikasikan secara empiris, dikatakan
system empiris bila system tersebut dapat diuji dengan pengalaman ini
menyarankan akan dianggap system jika difalsifiabilitaskan bukan
diverifiabilitaskan maka akan disebut sebagai kriteria demarkasi. Dari
penelitian tentang pengujian teori baru, Popper menyimpulkan untuk menggantikan
induksi sebagai kriterium damarkasi antara ilmu empiris dan non-ilmu empiris
diusulkan falsifiabilitas (penyangkalan) yang memungkinkan orang mengakui bahwa
diarea ilmu empiris ada pernyataan yang tidak dapat diverifikasikan, dengan
kriterium itu juga bisa dihindari kesalahan kaum positivis dengan kriterium
variablilitas bahkan menghancurkan ilmu-ilmu alam sendiri, pengusulan kriterium
falsifiabilitas didasarkan pada adanya asimetri dengan falsifiabilitas, suatu
pernyataan tidak dapat dikukuhkan dengan verifikasi tapi dapat dirontokan
dengan falsifiabilitas.
Popper menarik
pembedaan antara logika situasi dengan metodelogi yang terkandung didalamnya,
dari segi metodelogi dalam praktek mungkin meragukan suatu pernyatan atau
mungkin ada kesalahan saat mengamati, dalam tingkatan metodelogi tidak mungkin
didapatkan falsifikasi yang konklusif, maka Popper menyarankan agar teori-teori
dirumuskan sejelas mungkin sehingga membuka kemungkinan penyangkalan yang akan
diajukan. Namun teori tidak ditinggalkan dengan gampang saja, karena itu
merupakan sikap yang tidak kritis terhadap ujian atau tes. Meski Popper seorang
falsifikasionis yang naïf terhadap logika, namun ia sangat kritis dalam bidang
metodelogi. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak terdiri dari akumulasi hasil
pengamatan, melainkan dengan mengajukan ide-ide yang berani untuk kemudian
dihadapkan dengan ujian-ujian yang keras, maka ilmu pengetahuan menurut Popper
merupakan suatu system yang terbuka, dinamis, dan tidak pernah final.
3. Syarat Pertumbuhan
Pengetahuan
Ada 3 syarat dalam
pertumbuhan pengetahuan
a. Menghindari konsep kebenaran
Dalam ilmu pengetahuan
untuk menghindari penggunaan konsep benar dan salah. Bukan berarti kita
dilarang memakai konsep benar dan salah tetapi kenyataan kita dapat menghindari
konsep-konsep itu menunjukan bahwa konsep tersebut tidak dapat membangkitkan
suatu problem pokok yang baru. Ilmu tidak berhak telah mencapai kebenaran atau
penggantinya, mengenai hubungan ilmu pengetahuan dengan kebenaran merupakan
motif terkuat untuk penemuan ilmiah.
b. Teori korespondensi tarski
Tarski berefleksi bahwa
suatu yang berurusan dengan hubungan antara perntayaan dan faktum mampu
berbicara tentang pernyataan-pernyataan dan fakta, untuk mampu berbicara tentang pernyataan, suatu teori
harus menggunakan nama-nama pernyataan, atau deskripsi pernyataan, atau mungkin
menggunakan kata “pernyataan” ini berarti toeri harus masih dalam satu
metabahasa. Dan begitu pula dengan fakta.
Teori korespondensi
yang diselamatkan oleh Tarski teori yang memandang kebenaran yang bersifat
objekif lebih sebagai satu sifat teori daripada suatu pengalaman atau
kepercayaan atau sesuatau yang bersifat subjektif serupa.
c. Tingkat Kebenaran atau Verisimilitude
Popper menggabungkan gagasan kebenaran menjadi satu yaitu antara korespondensi
yang lebih baik terhadap kebenaran atau ide tentang serupa yang lebih besar
terhadap kebanaran atau gagasan tentang tingkat verisimilitude yaitu keparakan
terhadap suatu kebenaran.
4.
Metode Problem-Solving
Dalam kehidupan
sehari-hari tampak bahwa disegala bidang manusia cenderung mencoba
menyelesaikan masalah dari berbagai ide untuk memecahkan masalahnya, metode
yang digunakan dalam pemecahan masalah biasanya sama yaitu pencobaan dan
pembuangan kesalahan. Metode ini digunakan oleh seluruh organisme dalam proses
adaptasi keberhasilan metode ini bergantung pada jumlah dan macam-macam
percobaan yang telah dilakukan semakin banyak percobaan semakin banyak pula
kemungkinan akan berhasil. Manusia sering kali menanggapi suatu problem dengan
mengajukan suetu teori dan mempertahankannya selama-lamanya atau dengan
memerangi teori itu setelah tahu akan kelemahan-kelemahanya, metode ini jika
dikembangkan secara lebih sadar maka akan menimbulkan warna-warna metode
ilmiah. [9]
D.
Karakteristik
Prinsip Falsifikasi
Kata falsifikasi berasal
dari bahasa latin, yakni falsus (palsu, tidak benar) dan facere (membuat).
Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori)
dengan menggunakan pelawannya. Ini dilakukan dengan data yang diperoleh
melalui eksperimen.[10]
a. Teori Falsifikasi Karl
Raimud Popper
Sebagaimana telah
disampaikan di atas bahwa pemikiran Popper banyak termotivasi oleh Einstien.
Bahkan ia beranggapan bahwa teori-teori apapun bisa jatuh dan salah. Tak ada
satupun pengetahuan yang bersifat mutlak.Lebih jauh kaum falsifikasionis
seenaknya mengakui bahwa obsevasi dibimbing oleh teori dan pra anggapan, dan
dengan gampang melepaskan klaim bahwa teori dapat dibangun sebagai hal yang
benar atau boleh jadi benar atas dasar pembuktian observasi.Teori diuraikan
sebagai dugaan atau tebakan spekulatif dan coba-coba, yang diciptakan secara
bebas oleh intelek manusia dalam usaha mengatasi problema-problema yang
dijumpai teori-teori terdahulu, dan untuk memberikan keterangan yang cocok
tentang beberapa aspek dunia atau alam semesta. Teori-teori spekulatif akan
diajukan dan diuji keras tanpa belas kasihan oleh observasi dan experimen.
Teori-teori yang gagal tidak tahan uji oleh observasi dan exsperimen, akan
dibuang dan diganti dengan dugaan-dugaan spekulatif lain dan seterusnya. Ilmu
berkembang maju melalui percobaan dan kesalahan, melalui dugaan dan
penolakan.Hanya teori yang paling cocok yang bertahan. Selagi ia tidak pernah
dapat dikatakan sah sebagai teori yang benar, ia dengan penuh harapan dapat dikatakan
sebagai terbaik di antara yang bisa diperoleh dan bahwa ia lebih daripada yang
sebelumnya.
Pandangan falsifikasi,
bahwa beberapa teori dapat ditunjukan sebagai salah dengan meminta bantuan pada
hasil observasi dan eksperimen. Kalaupun ada asumsi keterangan-observasi yang
benar dapat kita peroleh dengan satu atau lain cara, maka tidak pernah akan
mungkin mencapai hukum-hukum dan teori-teori universal dengan deduksi-deduksi
logis.
Ada satu syarat
fundamental kalau suatu hipotesa atau system hipotesa mau diakui memiliki
status sebagai hukum atau teori ilmiah. Apabila hipotesa tersebut akan menjadi
bagian dari ilmu, maka suatu hipotesa akan harus falsifiable. Suatu hipotesa
falsifiable apabila terdapat suatu keterangan observasi atau suatu perangkat
keterangan-observasi yang tidak konsisten dengannya, yakni apabila dinyatakan
sebagai benar maka ia akan memfalsifikasi hipotesa itu.
Falsifikasi menuntut
bahwa hipotesa-hipotesa ilmiah harus falsifiabel.Dalam hal ini bersikap
mendesak, karena hanya dengan mengesampingkan segala perangkat
keterangan-observasi logis, suatu hukum atau teori barulah informative.Apabila
suatu pertanyaan tidak falsifiable, maka dunia dapat memiliki apapun, dapat
bertindak bagaimanapun, tanpa bertentangan dengan pernyataan itu.Akan tetapi
kaum falsifikasionis mempertahankan bahwa beberapa teori, yang mungkin secara
dangkal nampaknya memiliki ciri-ciri teori yang ilmiah, dalam kenyataan hanya
berlagak sebagai teori ilmiah, karena mereka tidak falsifiabel dan harus
ditentang. Popper pernah mengklaim bahwa beberapa versi, sedikit-dikitnya teori
marx tentang sejarah, psikoanalisa Freud dan psikologi Alder, dihinggapi
kesalahan ini.
Suatu hukum atau teori
ilmiah yang baik adalah falsifiable justru karena ia mengemukakan klaim-klaim
tertentu tentang dunia, karena dari situlah timbul ungkapan bahwa makin
falsifiable suatu teori makin baiklah teori itu, dalam pengertian yang longgar.
Makin banyak satu teori mengemukakan klaimnya, makin banyak kesempatan
potensial untuk menunjukkan bahwa dalam kenyataan dunia ini tidak berprilaku
sebagaimana ditetapkan oleh teori.Teori yang sangat baik adalah teori yang
mengemukakan klaim yang sangat luas jangkauannya tentang dunia, dan yang
konsekuensinya paling tinggi falsifiabilitasnya, dan dapat bertahan teradap
falsifikasi jika diuji.
Teori-teori yang sangat
tinggi fasifiablitasnya adalah lebih baik dari pada yang rendah
falsifiabilitasnya, asalkan belum pernah difalsifikasi.Kualifikasi ini penting
bagi kaum falsifikasionis.Teori-teori yang pernah difalsifikasi harus ditolak
dan tidak mengenal ampun.Kegiatan ilmu mengandung usul hipotesa-hipotesa yang
tinggi falsifiabilitasnya diikuti dengan usaha-usaha yang matang dan tekun
untuk memfalsifikasinya.Mengenai hal tersebut Popper mengakui bahwa
falsifikasionis jauh lebih suka berusaha memecahkan persoalan yang menarik
dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (dan terutama) apabila tidak lama
kemudian ternyata salah, dari pada mengulang suatu rangkaian kebenaran basi
yang tidak relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya bahwa begitulah
caranya kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, dan setelah
mengetahui bahwa dugaan ita salah kita akan belajar banyak tentang kebenaran,
dan akan makin mendekati kebenaran.
Tuntutan bahwa teori
harus tinggi fasifiabilitasnya mempunyai konsekuensi yang menarik bahwa teori
harus dinyatakan dnegan jelas dan cermat. Apabila suatu teori diajukan
sedemikian samar sehingga tidak jelas apa sebenarnya yang ingin dinyatakan,
maka bilamana diuji dengan observasi atu eksperimen lain ia dapat di
interpretasikan sedemikian rupa sehingga selalu konsisten dengan hasil
pengujian. Situasi yang serupa terdapat dalam hubungan dengan ketelitian. Makin
teliti suatu teori dirumuskan, semakin ia menjadi falsifiable.
Pendekatan falsifikasi
dikembangkan oleh Popper yang tidak puas dengan pendekatan induktif.Menurut
Popper, tujuan dari suatu penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan
(falsify) hipotesa, bukannya untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut.Oleh
karena itulah pendekatan ini dinamakan pendekatan falsifikasionisme.Untuk
mengatasi masalah empirisme logis, Popper menawarkan suatu metode alternatif
untuk menjustifikasi suatu teori.Popper menerima kenyataan bahwa observasi
selalu diawali oleh suatu sistem yang diharapkan. Proses ilmu pengetahuan
berawal dari observasi yang berbenturan dengan teori yang ada atau prakonsepsi.
Jika masalah ini
terjadi maka kita dihadapkan kepada masalah ilmu pengetahuan, teori kemudian
diajukan untuk memecahkan masalah dan hipotesa diuji secara empiris yang
tujuannya menolak hipotesa.Jika peramalan teori itu disalahkan (falsifi), maka
teori tersebut ditolak.Teori yang tahan uji dari falsifikasi dikatakan bahwa
teori tersebut kuat dan dapat diterima sementara sebagai teori yang benar.
Menurut falsifikasionis ilmu berkembang secara pendugaan dan penolakan
(conjencture and refutation) atau secara trial and error, tujuan ilmu adalah
memecahkan masalah dan pemecahan masalah tadi diwujudkan dalam teori yang
mungkin akan disalahkan secara tes empiris. Teori yang bertahan dan tidak dapat
disalahkan akan diterima secara tentatif untuk memecahkan masalah. Dengan kata
lain, teori menurut pendekatan falsifikasi adalah hipotesa yang belum
dibuktikan kesalahannya. Teori bukanlah sesuatu yang benar atau faktual tetapi
sesuatu yang belum terbukti salah. Proses dari falsifikasi Popper, dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
b.
karateristik falsifikasi
1. Falsifiabilitas
Falsifiabilitas atau refutabilitas
adalah kemungkinan bahwa adanya kemungkinan logis sebuah pernyataan untuk dapat
difalsifikasi atau ditunjukkan salah melalui observasi atau ujicoba empiris.
Sesuatu yang bisa difalsifikasi bukan berarti itu salah, namun berarti bahwa
jika pernyataan tersebut salah, maka kesalahannya dapat ditunjukkan. Klaim
bahwa, "tidak ada manusia yang hidup selamanya" tidak dapat
difalsifikasi karena tidak mungkin untuk dibuktikan salah. Dalam teori,
seseorang harus mengamati seorang manusia hidup selamanya untuk memfalsifikasi
klaim tersebut. Di sisi lain, "semua manusia hidup selamanya" dapat
difalsifikasi karena kematian satu orang manusia dapat membuktikan pernyataan
tersebut salah karena bersifat metafisik.
Secara metodologis prinsip falsifikasi menegaskan setiap
pernyataan ilmiah untuk tidak boleh menghindari pengujian kritis, entah dengan
cara mengajukan hipotesis ad hoc atau
definisi ad hoc. Oleh karena itu
teori-teori perlu dirumuskan sejelas mungkin, sehingga ada peluang bagi
pengujian kritis atau falsifikasi terhadapnya. Popper adalah seorang
falsifikasian yang sangat kritis dalam bidang metodologi.
Sedangkan segi logis karakter falsifiabilitas ini ditunjukkan dengan mengidentifikasi
relasi-relasi logis antara teori-teori dengan kelas atau tingkat pernyataan-pernyataan
dasar yang meliputi segenap pernyataan tunggal dan konsistensi internal.
Karakter falsifiabilitas ini
memerlukan the initial condition (kondisi
awal) yang menerangkan apa yang semestinya menggantikan variabel-variabel dalam teori. Kita juga membutuhkan pernyataan
dasar. Dalam ilmu pengetahuan, ide falsifiabilitas
ini memberikan kontribusi besar dalam menyelesaikan masalah demarkasi.
2.
Testabilitas
Testabilitas dalam
penerapannya ke hipotesis empiris melibatkan dua
komponen: pertama, properti logis yang beragam digambarkan
sebagai kontingensi atau falsifiabilitas, yang
berarti bahwa tandingan dengan hipotesis secara
logis mungkin. Kedua, kelayakan praktis mengamati serangkaian reprodusibilitas tandingan seperti
itu jika mereka memang ada. Singkatnya, hipotesis dapat
diuji jika ada beberapa harapan
nyata memutuskan apakah itu
benar atau palsu
dalam pengalaman itu. Setelah ini penyusun hipotesis memperlihatkan kemampuannya untuk memutuskan
apakah teori dapat didukung atau
dipalsukan oleh data pengalaman aktual. Jika hipotesis diuji, hasil awal
juga dapat diberi label tidak
meyakinkan.
3. . Corroboration
Corroboration berhubungan dengan masalah induksi, yang
timbul karena hipotesis yang tidak dapat secara logis disimpulkan dari
serangkaian pengamatan tertentu. Popper
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan
logika induksi semata. Corroboration
mengandaikan setiap pengamatan bisa dilihat sebagai bukti yang menguatkan
hipotesis apapun jika hipotesis tersebut cukup terbatas. Argumen ini juga telah
diambil untuk menunjukkan bahwa kedua pengamatan yang sarat teori, dan
karenanya tidak mungkin untuk membuat pengamatan yang benar-benar independen.
Hal ini disebabkan karena teori tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi
mungkin benar atau mungkin salah. Teori kemungkinan kemudian disebut logika
kemungkinan (probability logic). Satu
tanggapan adalah bahwa masalah mungkin cukup dipersempit (axiomatized) untuk mengambil segala sesuatu kecuali masalah yang
menarik sebagai tujuan.
Suatu
hipotesis tahan uji atau belum dapat dibuktikan salah, maka hipotesis tersebut
akan semakin dikukuhkan atau corroborated.
Untuk mencapai kondisi corroborated,
suatu hipotesis perlu diperhadapkan pada serangkaian fakta yang tak terhingga,
dengan rentetan falsifikasi yang tak terhingga. Dengan demikian, hipotesa
tersebut memiliki kualitas corroboration
yang tinggi (how far it has been
corroborated).
4. Verisimilitude
Verisimilitude atau
truthlikeness adalah bagaimana sebuah teori mendekati kebenaran dari teori yang
lain untuk dapat mengetahui kualitas realisme dari suatu teori ilmiah.
Masalah verisimilitude adalah masalah
mengartikulasikan apa yang dibutuhkan untuk satu teori yang mengalami
falsifikasi untuk lebih dekat dengan kebenaran dari teori lain. Teori palsu
adalah kemajuan sehubungan dengan tujuan kebenaran maka setidaknya harus
mungkin bagi satu teori palsu untuk lebih dekat dengan kebenaran daripada yang
lain.
Popper
sendiri sangat terpengaruh dengan pemikiran Alfred Tarski yang mengatakan
“kebenaran adalah sebuah properti dari sebuah statement.”[11] Popper
memberi contoh sebuah teori yang lebih dekat dengan kebenaran dari teori B
sesuai dengan definisi kualitatif Popper tentang verisimilitude, dalam hal ini, kita akan tahu bahwa semua
konsekuensi yang benar dari B adalah konsekuensi dari A, dan bahwa semua
konsekuensi palsu A adalah konsekuensi dari B, ini berarti bahwa, jika A dan B
sangat terkait, maka harus terjadi bahwa semua konsekuensi empiris diketahui
palsu dari A juga mengikuti dari B, dan semua konsekuensi yang dikenal empiris
sejati dari B melakukan tindakan dari A. Kesimpulannya jika A lebih dekat dengan
kebenaran dari B, maka A harus lebih baik dari B dikuatkan oleh sebanyak
mungkin bukti empiris. Teori yang mudah ini memungkinkan kita untuk menafsirkan
fakta bahwa A sebenarnya lebih baik dikuatkan dari B sebagai pembuktian hipotesis (atau 'meta-hipotesis') bahwa A lebih kelihatan seakan-akan benar dari B. Verisimilitude ini bisa terjadi secara komparatif dan numerical.
Tentang hal ini Popper menegaskan,
“Pada akhirnya, ide verisimilitude
yang sangat penting terjadi dalam kasus (hal) yang kita tahu bahwa kita harus bekerja dengan
teori-teori yang artinya benar-benar hanya perkiraaan, teori-teori yang kita
tahu bahwa teori-teori itu tidak mungkin benar. (Hal ini sering terjadi dalam ilmu-ilmu sosial). Dalam hal ini kita
masih bisa berbicara tentang pendekatan kebenaran yang lebih baik atau lebih
buruk (dan kita tidak perlu menafsirkan kasus ini dalam arti instrumentalis)”.[12]
5.
Probabilitas
Probabilitas ini biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu
sikap pikiran terhadap beberapa proposisi yang kebenarannya tidak tentu. Pertama, proposisi yang menarik biasanya
dalam bentuk: Apakah peristiwa tertentu terjadi? Sikap pikiran adalah dalam
bentuk "Bagaimana kita memprediksi bahwa acara tersebut akan
terjadi?" Kepastian kita mengadopsi dapat digambarkan dalam hal ukuran numeric dan jumlah ini, antara 0 dan 1,
kita sebut probabilitas. Semakin
tinggi probabilitas dari suatu
peristiwa, semakin yakin kita bahwa acara tersebut akan terjadi. Jadi, probabilitas dalam penerapan adalah
ukuran dari bersesuaian dari peristiwa yang akan terjadi. Probabilitas digunakan untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari
dan keteraturan sistem yang kompleks.
BAB III
KESIMPULAN
Epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasarnya ditegaskan bahwa
manusia memiliki pengetahuan, Dalam perkembangan epistemologi pemecahan yang
ditunggu-tunggu menimbulkan jawaban yang berlainan, diantara banyak aliran yang
mencoba menyusun teori pengetahuan yang disebut dua aliran besar yaitu
rasionalisme dan empirisme ciri pokok epistemologi popper pendekatan
objektivis, Problem-solving.
karya Popper dibagi dalam 2 periode,
yaitu periode metodelogis dan periode metafisis. Dalam periode
metodelogis Popper memberi teori tentang problem Induksi dan usaha Popper
memecahkannya, Problem Demarkasi dan usaha Popper memecahkannya, serta
pemberian syarat pertumbuhan pengetahuan. Dalam periode metafisis Popper
mengatakan teori objektiv yang dapat diargumentasikan yang dapat dihadapkan
dengan kritik dan dapat diuji. Dan teori subjektivisme hanya dapat melihat
pengeetahuan sebagai suatu keadaan mental khusus atau semacam kepercayaan yang
istimewa.
Istilah Falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu,
tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara
memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan
pelawannya. Istilah verifikasi berasal dari bahasa latin, Verus (benar),
facere (membuat). Verifikasi merupakan suatu usaha konfirmasi untuk
memastikan suatu pernyataan (proposisi) dengan menggunakan metode empirik.
Falsifikasi Popper mengajarkan bahwa tidak ada yang kebal untuk dikritisi
dalam ilmu pengetahuan.Semuanya harus diasumsikan bahwa hasil intepretasi masa
lalu sampai batasan-batasan tertentu menyimpan kesalahan-kesalahan yang layak
untuk dikritisi dan diperbaiki.Generasi sekarang diharapkan akan mampu
melakukan kajian ulang atas apa yang dibicarakan dalam Al Qur’an, jika memang
warisan klasik itu difalsifikasi menemukan kejanggalan-kejanggalan sehingga
umat Islam tidak hanya jalan di tempat ketika bangsa barat mampu menunjukkan
peradaban yang lebih maju tetapi generasi muslim mampu bersaing dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan.
[1] Triyadi,
Alfons. Epistimologi pemecahan masalah menurut Karl R. Popper (Jakarta: Gramedia, 1989) . hlm. 1- 2
[2] Ibid.
Hal. 3
[3] Ibid.
Hal. 16
[4] Triyadi,
Alfons. Epistimologi pemecahan masalah menurut Karl R. Popper (Jakarta: Gramedia, 1989) . hlm. 19
[5] Ibid.
Hal. 27
[6] Ibid.
Hal. 29
[7] Ibid.
Hal. 30
[8] Ibid.
Hal. 34- 35
[9] https://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/karl-r-popper-dan-falsifikasi/
[11]
https://www.academia.edu/3882121/Konsep_Falsifikasi_Popper. Yang Terkutip
dalam Popper, Conjectures and
Refutations: The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 391-395.
[12]
https://www.academia.edu/3882121/Konsep_Falsifikasi_Popper. Dalam bahasa inggris Ultimately, the idea of
verisimilitude is most important in cases where we know that we have to work
with theories which are at best approximations—that is to say,
theories of which we know that they cannot be true. (This is often the case in
the social sciences). In these cases we can still speak of better or worse
approximations to the truth (and we therefore do not need to interpret these
cases in an instrumentalist sense). Yang dikutip dalam
buku Popper, Conjectures and Refutations:
The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 235.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar