Rabu, 13 April 2016

FALSIFIKASI KARL RAIMUND POPPER

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Teori Pengetahuan yang dikembangkan oleh Plato dan Descartes tentang Rasionalisme bahwa dengan Prosedur akal kita sudah dapat menemukan pengetahuan dalam arti yang paling benar, yaitu penegetahuan yang dalam keadaan apapun tak mungkin salah. Dan menyatakan bahwa kita tidak akan menemukan pengetahuan yang pasti secara mutlak dalam pengalaman Inderawi.
            Sebagai Reaksi dari teori rasionalisme itu munculah teori Empiris, dimulai dari John Locke, kaum Empiris berharap menemukan basis untuk pengetahuan kita dipengalaman Inderawi. Namun Locke, Berkeley dan Hume mereka mendapatkan bahwa pengalaman inderawi tidak dapat menjelaskan tentang pengetahuan yang lebih jauh tentang Dunia. Dan dari sinilah muncul aliran Positivisme. Aliran positivisme dan  rasionalisme termasuk empirisme merupakan dua aliran yang bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated). Paradigma positivisme maupun neo-positivisme pun nampaknya mulai terusik dengan hadirnya seorang tokoh bernama Karl Popper. Ia secara khusus mengkritik pandangan neo-positivisme (Vienna Circle), yang menerapkan pemberlakuan hukum umum (induksi) sebagai teori ilmiah. Menurutnya, peralihan dari partikular ke yang universal (generalisasi) itu secara logis tidak sah.
Ciri utama Popper dalam pemecahan masalahnya adalah dengan  teori problem-solving yaitu pendekatan objektivis untuk membela objektivitas dan rasionalitas pemahaman manusia dan evolusionerndinamis untuk membela sifat dinamis ilmu dan pengetahuan manusia pada umumnya. Gagasan Popper tentang cara belajar dari keslahan  yang berarti kemampuan memanfaatkan bahwa manusia bisa salah (fallible), teori problem-solving erat kaitannya dengan gagsan metafisis yang dikembangkan Popper pada usia tuanya terutama tentang dunia pengetahuan objektif.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana riwayat hidup Karl R Popper ?
2.      Bagaimana pandangan Popper terhadap Epistimologi ?
3.      Bagaimana Pemikiran Popper dalam periode metodologis ?
4.      Bagaimana Karakteristik Prinsip Falsifikasi Popper?

C.     Tujuan

1.      Mengetahui  riwayat hidup Karl R Popper
2.      Mengetahui pandangan Popper terhadap Epistimologi
3.      Mengetahui Pemikiran Popper dalam periode metodologis
4.      Mengetahui Karakteristik Prinsip Falsifikasi Popper










BAB II
PEMBAHASAN
A.     Latar Belakang Karl R Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina, 28 juli 1902. Ayahnya, Dr. Simun Siegmund Carl Popper seorang pengacar yang sanga t berninta terhadap filsafat dan problem sosial. Tidaklah heran ketikar Karl R Popper sangat tertari terhadap dunia filsafat karena ayahnya mengkoleksi buku- buku filsafat karya dari filsuf- filsuf ternama.
            Pada usianya yang ke-16 Karl meninggalkan sekolahnya “Realgymnasium” dengan alasan bahwa pelajaran- pelajaran bahwa disekolahnya sangat membosankan. Lalu ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia baru diterima sebagai mahasiswa, pada tahun 1928 ia mertaih gelar Doktor Filsafat. Setelah  mendapatkan gelar doktor Popper bermukim di Selandia Baru dan diangkat menjadi profesor di London School of Ecinomic tahun 1948 berkat karyanya yang anti komonis, Logical The Society and Its Enemies (1945). Dan pada usia yang ke-17 ia menjadi seorang yang anti- Marxis, dia merasa kecewa terhadap kaum Marxisme yang menggunakan berbagai cara untuk mendapkan kebebasan dan terbuuhya seorang pemuda yang beraliran sosial dan bersama teman- temannya[1].
            Hal itu mengajarkannya  pada beberapa hal yang tak pernah di lupakannya. Darinya ia menarik pelajran tentang arti sebuah kebijaksanaan ucapan Socrates “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan menyadari perbedaan antara pikiran Dogmatis dan kritis. Salah satu peristiwa yang mempengaruhi pengetahuan Karl adalah Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teori  Newton dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang diikemukakan oleh Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tidak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.[2]
Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.
Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidak benarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sedikit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.
B.     Pandangan Popper tentang Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasarnya ditegaskan bahwa manusia memiliki pengetahuan[3]. Plato sebagai pemula atau pencetus awal adanya epistimologi dengan menangani pertanyaan-pertanyaan dasar seperti Apa pengetahuhan itu?, dimana pengetahuan biasanya diperoleh?, diantara apa kita bisa mengetahui dari beberapa yang benar-benar pengetahuan?, dapat-kah indra menghasilkan pengetahuan?, bisakah akal memberi pengetahuan?, apa hubungannya antara pengetahuan dengan kepercayaan yang benar?.  Telah banyak yang berusaha mengembangkan teori pengetahuan untuk menjelaskan sumber, dasar, dan kepastian pengetahuan manusia. Yang mereka kerjakan merupakan sesuatu yang fundamental nilainya untuk perkembangan manusia, teori pengetahuan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok yang mendasari ilmu pengetahuan, definisi paling elementer dari suatu karya ilmiah yaitu suatu sintesis  pengetahuan manusia jika direflesikan pada dasarnya mengandaikan adanya pandangan yang menentukan apa yang dimaksud pengetahuan manusia, hakikatnya, ruang lingkup, dan syarat-syarat umumnya. Dalam perkembangan epistemologi pemecahan yang ditunggu-tunggu menimbulkan jawaban yang berlainan, diantara banyak aliran yang mencoba menyusun teori pengetahuan yang disebut dua aliran besar yaitu rasionalisme dan empirisme dalam pemikiran Karl R. Popper.[4]
1.      Rasionalisme kritis
Popper termasuk golongan filusuf yang mencoba menjembatani konflik antara rasionalisme dan empirisme, menurutnya pengetahuan tidak mungkin merupakan suatu tiruan atau impersi realitas maka teori-teori ilmiah adalah buatan manusia, pengetahuan bersifat apriori secara psikologis namun ia menyalahkan anggapannya tentang suatu pengetahuan bisa sah secara apriori ( pra-duga), menurut popper toeri merupakan hasil penemuan kita. Tetapi bisa saja teorinya sebagai dugaan-dugaan yang kurang beralasan, konjektur, hipotesis yang berani, dari teori-teori ini kita membangun suatu dunia yang bukan dunia yang sebenarnya. Popper membendakan istilah akal dengan rasionalisme, dalam arti luas akal dan rasionalisme dipakai tidak hanya mencakup kegiatan intelektual melainkan juga pengamatan dan percobaan juga, dalam arti sempit akal dan rasionalisme dipertentangkan bukan terhadap rasionalisme melainkan terhadap empirisme, rasionalisme menggunakan akal atas pengamatan dan percobaan yang disebut intelektualisme. Rasionalisme merupakan sikap untuk memecahkan masalah sebanyak mungkin dengan bersandarkan pada akal yaitu pikiran jernih dan pengalaman lebih dari pada bersandar pada perasaan dan nafsu. Popper mendukung rasionalisme kritis dan mengakui kenyataan bahwa sikap rasionalis yang fundamental merupakan hasil kepercayaan pada akal, rasionalisme yang diperjuangkan Popper  bersifat jatmika ( modest ) kritis trehadap diri sendiri dan mengenal batas-batas tertentu. .        
2.         Empirisme kritis
Teori empirisme Popper mengatakan pengalaman dan percobaan bukan digunakan untuk meneguhkan suatu teori, melainkan untuk mengadakan penyangkalan (falsfifikasi) terhadap teori. Suatu teori tidak dapat diteguhkan melainkan disangkal, namun refutasi yang gagal merupakan penguat terhadap teori yang dicoba direfutasikan. Sejalan dengan teori tentang falsifikasi merupakan tesis Popper bahwa kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, semua pengetahuan tumbuh hanya lewat koreksi kesalahan-kesalahan kita. Pengamatan memperoleh peran sebagai ujian yang bisa membantu menemukan kesalahan-kesalahan kita, begitu pula dalam penalaran sosial untuk meberi kritikan tentang usaha kita yang sering salah dalam memecahkan masalah-masalah. Popper memodifikasi pemikiran kant tentang rasionalisme kritis dan empieisme kritis, pemikiran popper merupakan sentuhan akhirnya saja, termasuk dalam teori kant tentang “akal kita tidak menarik hukum-hukum dari alam, melainkan mendesaknya atas alam”, menurut Popper teori harus dianggap sebagai ciptaan bebas akal kita sendiri, hasil suatu percobaan menahami hukum alam secara intuitif.[5]
3.      Ciri pokok epistemologi Popper
a.       Pendekatan Objektivis
Yaitu pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu system pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, pendekatannya dengan mengetahui problem-problem objektif, prestasi objektif dalam hal ini pemecahan problemnya, pengetahuan objektif tentang pandangan diri sendiri terpisah dari subjek pendukungnya, kritik yang mengandaikan teori-teori yang telah diformulasikan secara linguistik.[6]
b.      Problem-solving
Metode ilmu pengetahuan digambarkan Popper sebagai metode pemberian solusi tentative atas problem dengan konjektur-konjektur yang dikontrol oleh kritik yang keras. Pertumbuhan ilmiah mengunakan metode problem-solving yang memandang epistemologi dengan pendekatan objektivis dari sudut ilmu pengetahuan. Bagi Popper problem pengetahuan yang paling menarik adalah pertumbuhan pengetahuan ilmiah, ia juga menerapkan pertumbuhan pra-ilmiah yaitu cara manusia atau bahkan binatang dalam proses memperoleh pengetahuan yang baru tentang dunia.[7]



C.    Pemikiran popper dalam periode metodologis
Menurut popper, problem induksi terpecahkan sebab tidak ada induksi: teori universal tidak dapat ditarik dari pernyataan singular, tetapi bisa direfutasikan pleh pernyataan- pernyataan singular, karena teori universal bisa bertentangan dengan gambaran fakta yang teramati. Sebelum memasuki teori Induksi dan Teori Demarkasi “ metodologis” catatan popper tentang istilah itu. Karya popper tentang hal ini bisa dibagi kedalam dua periode, yaitu peride metadologis yang berakhir pada tahun 1960 dan periode metafisis yang mulai pada tahun 1960-an.[8]
1.      Problem induksi dan usaha popper untuk memecahkannya
Ilmu-ilmu empiris ditandai oleh ilmu induktif, interfensi disebut induktif jika bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, David hume mengembangkan induksi tentang pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal. Menurut Kant induksi yang diformulasikan sebagai prinsip penyebab universal secara sah oleh apriori, bahwa seluruh ilmu berdasarkan pada fondasi yang kesahannya tidak bisa ditunjukan, ini menyebabkan filusuf empiris menjadi irasionalis, bahkan mistis, induksi ini telah menyodorkan suatu masalah yang tak terpecahkan  justru pada dasar pengetahuan dasar manusia, sebelum terpecahnya masalah seluruh ilmu harus dianggap melayang-layang tanpa dasar yang kukuh sekalipun konsistennya secara instrinsik dan menghasilkan manfaat secara ekstrinsik.
Maka Popper mecoba memberikan teori pengujian menurut metode deduktif, namun sebelum membahasnya Popper berbicara tentang perbedaan antara psikologi pengetahuan yang berdasarkan fakta empiris dengan logika pengetahuan yang hanya memeperlihatkan hubungan-hubungan logis. Menurutnya logika terhadap induktif disebabkan oleh pencampur adukan antara problem psikologi dengan problem epistemology,  metode bersifat deduktif yaitu menemukan seberapa jauh akibat-akibat yang dihadapi dari tuntutan dengan prakteknya.
2.      Problem Demarkasi dan usaha Popper memecahkannya
Problem demarkasi merupakan problem menentukan batas-batas antara ilmu dan non-ilmu atau pseudo ilmu, menurutnya sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari verifiaksi atas teorinya, melainkan tes-tes yang akan merefrutasikannya, dengan kata lain kriterium demarkasi antara ilmu dan pseudo-ilmu ialah falsifiabilitas. Suatu pernyataan bersifat ilmiah bila difalsifikasikan secara empiris, dikatakan system empiris bila system tersebut dapat diuji dengan pengalaman ini menyarankan akan dianggap system jika difalsifiabilitaskan bukan diverifiabilitaskan maka akan disebut sebagai kriteria demarkasi. Dari penelitian tentang pengujian teori baru, Popper menyimpulkan untuk menggantikan induksi sebagai kriterium damarkasi antara ilmu empiris dan non-ilmu empiris diusulkan falsifiabilitas (penyangkalan) yang memungkinkan orang mengakui bahwa diarea ilmu empiris ada pernyataan yang tidak dapat diverifikasikan, dengan kriterium itu juga bisa dihindari kesalahan kaum positivis dengan kriterium variablilitas bahkan menghancurkan ilmu-ilmu alam sendiri, pengusulan kriterium falsifiabilitas didasarkan pada adanya asimetri dengan falsifiabilitas, suatu pernyataan tidak dapat dikukuhkan dengan verifikasi tapi dapat dirontokan dengan falsifiabilitas.
Popper menarik pembedaan antara logika situasi dengan metodelogi yang terkandung didalamnya, dari segi metodelogi dalam praktek mungkin meragukan suatu pernyatan atau mungkin ada kesalahan saat mengamati, dalam tingkatan metodelogi tidak mungkin didapatkan falsifikasi yang konklusif, maka Popper menyarankan agar teori-teori dirumuskan sejelas mungkin sehingga membuka kemungkinan penyangkalan yang akan diajukan. Namun teori tidak ditinggalkan dengan gampang saja, karena itu merupakan sikap yang tidak kritis terhadap ujian atau tes. Meski Popper seorang falsifikasionis yang naïf terhadap logika, namun ia sangat kritis dalam bidang metodelogi. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak terdiri dari akumulasi hasil pengamatan, melainkan dengan mengajukan ide-ide yang berani untuk kemudian dihadapkan dengan ujian-ujian yang keras, maka ilmu pengetahuan menurut Popper merupakan suatu system yang terbuka, dinamis, dan tidak pernah final.
3.        Syarat Pertumbuhan Pengetahuan
Ada 3 syarat dalam pertumbuhan pengetahuan
a.        Menghindari konsep kebenaran
Dalam ilmu pengetahuan untuk menghindari penggunaan konsep benar dan salah. Bukan berarti kita dilarang memakai konsep benar dan salah tetapi kenyataan kita dapat menghindari konsep-konsep itu menunjukan bahwa konsep tersebut tidak dapat membangkitkan suatu problem pokok yang baru. Ilmu tidak berhak telah mencapai kebenaran atau penggantinya, mengenai hubungan ilmu pengetahuan dengan kebenaran merupakan motif terkuat untuk penemuan ilmiah.
b.        Teori korespondensi tarski
Tarski berefleksi bahwa suatu yang berurusan dengan hubungan antara perntayaan dan faktum mampu berbicara tentang pernyataan-pernyataan dan fakta, untuk mampu  berbicara tentang pernyataan, suatu teori harus menggunakan nama-nama pernyataan, atau deskripsi pernyataan, atau mungkin menggunakan kata “pernyataan” ini berarti toeri harus masih dalam satu metabahasa. Dan begitu pula dengan fakta.
Teori korespondensi yang diselamatkan oleh Tarski teori yang memandang kebenaran yang bersifat objekif lebih sebagai satu sifat teori daripada suatu pengalaman atau kepercayaan atau sesuatau yang bersifat subjektif serupa.                                                                                                                                                                                                      
c.         Tingkat Kebenaran atau Verisimilitude
Popper menggabungkan gagasan kebenaran menjadi satu yaitu antara korespondensi yang lebih baik terhadap kebenaran atau ide tentang serupa yang lebih besar terhadap kebanaran atau gagasan tentang tingkat verisimilitude yaitu keparakan terhadap suatu kebenaran.
4.       Metode Problem-Solving
Dalam kehidupan sehari-hari tampak bahwa disegala bidang manusia cenderung mencoba menyelesaikan masalah dari berbagai ide untuk memecahkan masalahnya, metode yang digunakan dalam pemecahan masalah biasanya sama yaitu pencobaan dan pembuangan kesalahan. Metode ini digunakan oleh seluruh organisme dalam proses adaptasi keberhasilan metode ini bergantung pada jumlah dan macam-macam percobaan yang telah dilakukan semakin banyak percobaan semakin banyak pula kemungkinan akan berhasil. Manusia sering kali menanggapi suatu problem dengan mengajukan suetu teori dan mempertahankannya selama-lamanya atau dengan memerangi teori itu setelah tahu akan kelemahan-kelemahanya, metode ini jika dikembangkan secara lebih sadar maka akan menimbulkan warna-warna metode ilmiah. [9]

D.    Karakteristik Prinsip Falsifikasi

Kata falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu, tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan  pelawannya. Ini dilakukan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen.[10]

a.       Teori Falsifikasi Karl Raimud Popper

Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa pemikiran Popper banyak termotivasi oleh Einstien. Bahkan ia beranggapan bahwa teori-teori apapun bisa jatuh dan salah. Tak ada satupun pengetahuan yang bersifat mutlak.Lebih jauh kaum falsifikasionis seenaknya mengakui bahwa obsevasi dibimbing oleh teori dan pra anggapan, dan dengan gampang melepaskan klaim bahwa teori dapat dibangun sebagai hal yang benar atau boleh jadi benar atas dasar pembuktian observasi.Teori diuraikan sebagai dugaan atau tebakan spekulatif dan coba-coba, yang diciptakan secara bebas oleh intelek manusia dalam usaha mengatasi problema-problema yang dijumpai teori-teori terdahulu, dan untuk memberikan keterangan yang cocok tentang beberapa aspek dunia atau alam semesta. Teori-teori spekulatif akan diajukan dan diuji keras tanpa belas kasihan oleh observasi dan experimen. Teori-teori yang gagal tidak tahan uji oleh observasi dan exsperimen, akan dibuang dan diganti dengan dugaan-dugaan spekulatif lain dan seterusnya. Ilmu berkembang maju melalui percobaan dan kesalahan, melalui dugaan dan penolakan.Hanya teori yang paling cocok yang bertahan. Selagi ia tidak pernah dapat dikatakan sah sebagai teori yang benar, ia dengan penuh harapan dapat dikatakan sebagai terbaik di antara yang bisa diperoleh dan bahwa ia lebih daripada yang sebelumnya.
Pandangan falsifikasi, bahwa beberapa teori dapat ditunjukan sebagai salah dengan meminta bantuan pada hasil observasi dan eksperimen. Kalaupun ada asumsi keterangan-observasi yang benar dapat kita peroleh dengan satu atau lain cara, maka tidak pernah akan mungkin mencapai hukum-hukum dan teori-teori universal dengan deduksi-deduksi logis.
Ada satu syarat fundamental kalau suatu hipotesa atau system hipotesa mau diakui memiliki status sebagai hukum atau teori ilmiah. Apabila hipotesa tersebut akan menjadi bagian dari ilmu, maka suatu hipotesa akan harus falsifiable. Suatu hipotesa falsifiable apabila terdapat suatu keterangan observasi atau suatu perangkat keterangan-observasi yang tidak konsisten dengannya, yakni apabila dinyatakan sebagai benar maka ia akan memfalsifikasi hipotesa itu.
Falsifikasi menuntut bahwa hipotesa-hipotesa ilmiah harus falsifiabel.Dalam hal ini bersikap mendesak, karena hanya dengan mengesampingkan segala perangkat keterangan-observasi logis, suatu hukum atau teori barulah informative.Apabila suatu pertanyaan tidak falsifiable, maka dunia dapat memiliki apapun, dapat bertindak bagaimanapun, tanpa bertentangan dengan pernyataan itu.Akan tetapi kaum falsifikasionis mempertahankan bahwa beberapa teori, yang mungkin secara dangkal nampaknya memiliki ciri-ciri teori yang ilmiah, dalam kenyataan hanya berlagak sebagai teori ilmiah, karena mereka tidak falsifiabel dan harus ditentang. Popper pernah mengklaim bahwa beberapa versi, sedikit-dikitnya teori marx tentang sejarah, psikoanalisa Freud dan psikologi Alder, dihinggapi kesalahan ini.
Suatu hukum atau teori ilmiah yang baik adalah falsifiable justru karena ia mengemukakan klaim-klaim tertentu tentang dunia, karena dari situlah timbul ungkapan bahwa makin falsifiable suatu teori makin baiklah teori itu, dalam pengertian yang longgar. Makin banyak satu teori mengemukakan klaimnya, makin banyak kesempatan potensial untuk menunjukkan bahwa dalam kenyataan dunia ini tidak berprilaku sebagaimana ditetapkan oleh teori.Teori yang sangat baik adalah teori yang mengemukakan klaim yang sangat luas jangkauannya tentang dunia, dan yang konsekuensinya paling tinggi falsifiabilitasnya, dan dapat bertahan teradap falsifikasi jika diuji.
Teori-teori yang sangat tinggi fasifiablitasnya adalah lebih baik dari pada yang rendah falsifiabilitasnya, asalkan belum pernah difalsifikasi.Kualifikasi ini penting bagi kaum falsifikasionis.Teori-teori yang pernah difalsifikasi harus ditolak dan tidak mengenal ampun.Kegiatan ilmu mengandung usul hipotesa-hipotesa yang tinggi falsifiabilitasnya diikuti dengan usaha-usaha yang matang dan tekun untuk memfalsifikasinya.Mengenai hal tersebut Popper mengakui bahwa falsifikasionis jauh lebih suka berusaha memecahkan persoalan yang menarik dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (dan terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah, dari pada mengulang suatu rangkaian kebenaran basi yang tidak relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya bahwa begitulah caranya kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, dan setelah mengetahui bahwa dugaan ita salah kita akan belajar banyak tentang kebenaran, dan akan makin mendekati kebenaran.
Tuntutan bahwa teori harus tinggi fasifiabilitasnya mempunyai konsekuensi yang menarik bahwa teori harus dinyatakan dnegan jelas dan cermat. Apabila suatu teori diajukan sedemikian samar sehingga tidak jelas apa sebenarnya yang ingin dinyatakan, maka bilamana diuji dengan observasi atu eksperimen lain ia dapat di interpretasikan sedemikian rupa sehingga selalu konsisten dengan hasil pengujian. Situasi yang serupa terdapat dalam hubungan dengan ketelitian. Makin teliti suatu teori dirumuskan, semakin ia menjadi falsifiable.
Pendekatan falsifikasi dikembangkan oleh Popper yang tidak puas dengan pendekatan induktif.Menurut Popper, tujuan dari suatu penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan (falsify) hipotesa, bukannya untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut.Oleh karena itulah pendekatan ini dinamakan pendekatan falsifikasionisme.Untuk mengatasi masalah empirisme logis, Popper menawarkan suatu metode alternatif untuk menjustifikasi suatu teori.Popper menerima kenyataan bahwa observasi selalu diawali oleh suatu sistem yang diharapkan. Proses ilmu pengetahuan berawal dari observasi yang berbenturan dengan teori yang ada atau prakonsepsi.
Jika masalah ini terjadi maka kita dihadapkan kepada masalah ilmu pengetahuan, teori kemudian diajukan untuk memecahkan masalah dan hipotesa diuji secara empiris yang tujuannya menolak hipotesa.Jika peramalan teori itu disalahkan (falsifi), maka teori tersebut ditolak.Teori yang tahan uji dari falsifikasi dikatakan bahwa teori tersebut kuat dan dapat diterima sementara sebagai teori yang benar. Menurut falsifikasionis ilmu berkembang secara pendugaan dan penolakan (conjencture and refutation) atau secara trial and error, tujuan ilmu adalah memecahkan masalah dan pemecahan masalah tadi diwujudkan dalam teori yang mungkin akan disalahkan secara tes empiris. Teori yang bertahan dan tidak dapat disalahkan akan diterima secara tentatif untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori menurut pendekatan falsifikasi adalah hipotesa yang belum dibuktikan kesalahannya. Teori bukanlah sesuatu yang benar atau faktual tetapi sesuatu yang belum terbukti salah. Proses dari falsifikasi Popper, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
b.      karateristik  falsifikasi

1.      Falsifiabilitas

Falsifiabilitas atau refutabilitas adalah kemungkinan bahwa adanya kemungkinan logis sebuah pernyataan untuk dapat difalsifikasi atau ditunjukkan salah melalui observasi atau ujicoba empiris. Sesuatu yang bisa difalsifikasi bukan berarti itu salah, namun berarti bahwa jika pernyataan tersebut salah, maka kesalahannya dapat ditunjukkan. Klaim bahwa, "tidak ada manusia yang hidup selamanya" tidak dapat difalsifikasi karena tidak mungkin untuk dibuktikan salah. Dalam teori, seseorang harus mengamati seorang manusia hidup selamanya untuk memfalsifikasi klaim tersebut. Di sisi lain, "semua manusia hidup selamanya" dapat difalsifikasi karena kematian satu orang manusia dapat membuktikan pernyataan tersebut salah karena bersifat metafisik.
Secara metodologis prinsip falsifikasi menegaskan setiap pernyataan ilmiah untuk tidak boleh menghindari pengujian kritis, entah dengan cara mengajukan hipotesis ad hoc atau definisi ad hoc. Oleh karena itu teori-teori perlu dirumuskan sejelas mungkin, sehingga ada peluang bagi pengujian kritis atau falsifikasi terhadapnya. Popper adalah seorang falsifikasian yang sangat kritis dalam bidang metodologi.
Sedangkan segi logis karakter falsifiabilitas ini ditunjukkan dengan mengidentifikasi relasi-relasi logis antara teori-teori dengan kelas atau tingkat pernyataan-pernyataan dasar yang meliputi segenap pernyataan tunggal dan konsistensi internal. Karakter falsifiabilitas ini memerlukan the initial condition (kondisi awal) yang menerangkan apa yang semestinya menggantikan variabel-variabel dalam teori. Kita juga membutuhkan pernyataan dasar. Dalam ilmu pengetahuan, ide falsifiabilitas ini memberikan kontribusi besar dalam menyelesaikan masalah demarkasi.

 

2.       Testabilitas

Testabilitas dalam penerapannya ke hipotesis empiris melibatkan dua komponen: pertama, properti logis yang beragam digambarkan sebagai kontingensi atau falsifiabilitas, yang berarti bahwa tandingan dengan hipotesis secara logis mungkin. Kedua, kelayakan praktis mengamati serangkaian reprodusibilitas tandingan seperti itu jika mereka memang ada. Singkatnya, hipotesis dapat diuji jika ada beberapa harapan nyata memutuskan apakah itu benar atau palsu dalam pengalaman itu. Setelah ini penyusun hipotesis memperlihatkan kemampuannya untuk memutuskan apakah teori dapat didukung atau dipalsukan oleh data pengalaman aktual. Jika hipotesis diuji, hasil awal juga dapat diberi label tidak meyakinkan.

 

3.      . Corroboration

Corroboration berhubungan dengan masalah induksi, yang timbul karena hipotesis yang tidak dapat secara logis disimpulkan dari serangkaian pengamatan tertentu. Popper menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan logika induksi semata. Corroboration mengandaikan setiap pengamatan bisa dilihat sebagai bukti yang menguatkan hipotesis apapun jika hipotesis tersebut cukup terbatas. Argumen ini juga telah diambil untuk menunjukkan bahwa kedua pengamatan yang sarat teori, dan karenanya tidak mungkin untuk membuat pengamatan yang benar-benar independen. Hal ini disebabkan karena teori tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi mungkin benar atau mungkin salah. Teori kemungkinan kemudian disebut logika kemungkinan (probability logic). Satu tanggapan adalah bahwa masalah mungkin cukup dipersempit (axiomatized) untuk mengambil segala sesuatu kecuali masalah yang menarik sebagai tujuan.
Suatu hipotesis tahan uji atau belum dapat dibuktikan salah, maka hipotesis tersebut akan semakin dikukuhkan atau corroborated. Untuk mencapai kondisi corroborated, suatu hipotesis perlu diperhadapkan pada serangkaian fakta yang tak terhingga, dengan rentetan falsifikasi yang tak terhingga. Dengan demikian, hipotesa tersebut memiliki kualitas corroboration yang tinggi (how far it has been corroborated).

4.       Verisimilitude

Verisimilitude atau truthlikeness adalah bagaimana sebuah teori mendekati kebenaran dari teori yang lain untuk dapat mengetahui kualitas realisme dari suatu teori ilmiah. Masalah verisimilitude adalah masalah mengartikulasikan apa yang dibutuhkan untuk satu teori yang mengalami falsifikasi untuk lebih dekat dengan kebenaran dari teori lain. Teori palsu adalah kemajuan sehubungan dengan tujuan kebenaran maka setidaknya harus mungkin bagi satu teori palsu untuk lebih dekat dengan kebenaran daripada yang lain.
Popper sendiri sangat terpengaruh dengan pemikiran Alfred Tarski yang mengatakan “kebenaran adalah sebuah properti dari sebuah statement.”[11] Popper memberi contoh sebuah teori yang lebih dekat dengan kebenaran dari teori B sesuai dengan definisi kualitatif Popper tentang verisimilitude, dalam hal ini, kita akan tahu bahwa semua konsekuensi yang benar dari B adalah konsekuensi dari A, dan bahwa semua konsekuensi palsu A adalah konsekuensi dari B, ini berarti bahwa, jika A dan B sangat terkait, maka harus terjadi bahwa semua konsekuensi empiris diketahui palsu dari A juga mengikuti dari B, dan semua konsekuensi yang dikenal empiris sejati dari B melakukan tindakan dari A. Kesimpulannya jika A lebih dekat dengan kebenaran dari B, maka A harus lebih baik dari B dikuatkan oleh sebanyak mungkin bukti empiris. Teori yang mudah ini memungkinkan kita untuk menafsirkan fakta bahwa A sebenarnya lebih baik dikuatkan dari B sebagai pembuktian hipotesis (atau 'meta-hipotesis') bahwa A lebih kelihatan seakan-akan benar dari B. Verisimilitude ini bisa terjadi secara komparatif dan numerical.
Tentang hal ini Popper menegaskan,
“Pada akhirnya, ide verisimilitude yang sangat penting terjadi dalam kasus (hal) yang  kita tahu bahwa kita harus bekerja dengan teori-teori yang artinya benar-benar hanya perkiraaan, teori-teori yang kita tahu bahwa teori-teori itu tidak mungkin benar. (Hal ini sering terjadi dalam ilmu-ilmu sosial). Dalam hal ini kita masih bisa berbicara tentang pendekatan kebenaran yang lebih baik atau lebih buruk (dan kita tidak perlu menafsirkan kasus ini dalam arti instrumentalis)”.[12]

5.       Probabilitas

Probabilitas ini biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu sikap pikiran terhadap beberapa proposisi yang kebenarannya tidak tentu. Pertama, proposisi yang menarik biasanya dalam bentuk: Apakah peristiwa tertentu terjadi? Sikap pikiran adalah dalam bentuk "Bagaimana kita memprediksi bahwa acara tersebut akan terjadi?" Kepastian kita mengadopsi dapat digambarkan dalam hal ukuran numeric dan jumlah ini, antara 0 dan 1, kita sebut probabilitas. Semakin tinggi probabilitas dari suatu peristiwa, semakin yakin kita bahwa acara tersebut akan terjadi. Jadi, probabilitas dalam penerapan adalah ukuran dari bersesuaian dari peristiwa yang akan terjadi. Probabilitas digunakan untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari dan keteraturan sistem yang kompleks.





BAB III
KESIMPULAN
Epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasarnya ditegaskan bahwa manusia memiliki pengetahuan, Dalam perkembangan epistemologi pemecahan yang ditunggu-tunggu menimbulkan jawaban yang berlainan, diantara banyak aliran yang mencoba menyusun teori pengetahuan yang disebut dua aliran besar yaitu rasionalisme dan empirisme ciri pokok epistemologi popper pendekatan objektivis, Problem-solving.
karya Popper dibagi dalam 2 periode,  yaitu periode metodelogis dan periode metafisis. Dalam periode metodelogis Popper memberi teori tentang problem Induksi dan usaha Popper memecahkannya, Problem Demarkasi dan usaha Popper memecahkannya, serta pemberian syarat pertumbuhan pengetahuan. Dalam periode metafisis Popper mengatakan teori objektiv yang dapat diargumentasikan yang dapat dihadapkan dengan kritik dan dapat diuji. Dan teori subjektivisme hanya dapat melihat pengeetahuan sebagai suatu keadaan mental khusus atau semacam kepercayaan yang istimewa.
Istilah Falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu, tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan  pelawannya. Istilah verifikasi berasal dari bahasa latin, Verus (benar), facere (membuat). Verifikasi merupakan suatu usaha konfirmasi untuk memastikan suatu pernyataan (proposisi) dengan menggunakan metode empirik.
Falsifikasi Popper mengajarkan bahwa tidak ada yang kebal untuk dikritisi dalam ilmu pengetahuan.Semuanya harus diasumsikan bahwa hasil intepretasi masa lalu sampai batasan-batasan tertentu menyimpan kesalahan-kesalahan yang layak untuk dikritisi dan diperbaiki.Generasi sekarang diharapkan akan mampu melakukan kajian ulang atas apa yang dibicarakan dalam Al Qur’an, jika memang warisan klasik itu difalsifikasi menemukan kejanggalan-kejanggalan sehingga umat Islam tidak hanya jalan di tempat ketika bangsa barat mampu menunjukkan peradaban yang lebih maju tetapi generasi muslim mampu bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.


















[1] Triyadi, Alfons. Epistimologi pemecahan masalah menurut Karl R. Popper (Jakarta: Gramedia, 1989) . hlm. 1- 2
[2] Ibid. Hal. 3
[3] Ibid. Hal. 16
[4] Triyadi, Alfons. Epistimologi pemecahan masalah menurut Karl R. Popper (Jakarta: Gramedia, 1989) . hlm. 19
[5] Ibid. Hal. 27
[6] Ibid. Hal. 29
[7] Ibid. Hal. 30
[8] Ibid. Hal. 34- 35
[11] https://www.academia.edu/3882121/Konsep_Falsifikasi_Popper.   Yang Terkutip dalam Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 391-395.
[12] https://www.academia.edu/3882121/Konsep_Falsifikasi_Popper. Dalam bahasa inggris Ultimately, the idea of verisimilitude is most important in cases where we know that we have to work with theories which are at best approximations—that is to say, theories of which we know that they cannot be true. (This is often the case in the social sciences). In these cases we can still speak of better or worse approximations to the truth (and we therefore do not need to interpret these cases in an instrumentalist sense). Yang dikutip dalam buku Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge, hlm. 235.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar